Jumat, 06 April 2012

Adab dlm bergaul sesama manusia



ADAB DALAM BERGAUL
  • Apa itu adab?
  • Mengapa kita harus memiliki adab?
Ø      Manusia adalah makhluk yang paling sempurna karena akal budinya
Ø      Orang yang beriman adalah kelompok yang paling baik akhlaknya
Ø      Mejadikan sesuatu lebih bernilai
  • Pentingnya adab bergaul.
  • Bagaimana al-Qur’an berbicara tentang adab dalam bergaul?
Ø      Saling mengenal (ta’aruf)
(QS. Al-Hujurat:  )
Ø      Saling memberi hormat (al-tahiyyah)
(QS. Al-Nisa’: )
Ø      Saling menolong (ta’awun)
(QS. Al-Maidah: )
Ø      Tidak saling mengolok-ngolok
(QS. Al-Hujurat: )
Ø      Tidak saling mencela
(QS. Al-Hujurat: )
Ø      Tidak saling memanggil dengan panggilan buruk
(QS. Al-Hujurat: )
Ø      Tidak berburuk sangka
(QS. Al-Hujurat: )
Ø      Tidak berbuat ghibah
(QS. al-Hujurat: )
  • Bagaimana menyiasati pergaulan di masa kini?
  • Penutup

             
Apa itu adab?
Dari segi asal kata (etimologi), istilah adab merupakan kata serapan dari bahasa arab, adab (ادب) yang berarti sopan santun, budi pekerti atau tata cara. (Hans Wern, 1996 : 9). Setelah menjadi salah satu koso kata (perbendaraan kata) dalam bahasa Indonesia, kata adab dipakai dengan beberapa pengertian yang tidak jauh dari bahasa aslinya, seperti kesopanan, kehalusan, kebaikan, budi pekerti atau akhlak. (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dengan demikian, yang dimaksud adab adalah segala bentuk sikap, prilaku atau tata cara hidup yang mencerminkan nilai sopan santun, kehalusan, kebaikan, budi pekerti atau akhlak.
            Gambaran orang yang beradab pada dasarnya adalah orang yang selalu menjalani hidupnya dengan aturan atau tata cara. Tidak ada bagian dari aktivitas kehidupannya terlepas dari tata cara (adab) yang diikutinya. Karena aktivitas hidup manusia bermacam-macam dan masing-masing membutuhkan tata cara, maka muncul pula berbagai macam adab. Secara garis besar berbagai macam adab itu  dibedakan menjadi dua, yaitu adab yang bersifat pribadi dan adab yang bersifat sosial. Adab yang bersifat pribadi terkait dengan segala tata cara/ prilaku yang menyangkut diri kita sendiri, semisal adab makan, adab memakai pakaian atau adab akan tidur. Sedangkan adab yang bersifat sosial terkait dengan prilaku kita dengan orang lain, seperti adab memberi sedekah, adab menjenguk orang sakit atau adab bergaul.
Mengapa kita harus beragul?
            Bergaul mengandung arti bercampur, yaitu mengandaikan hubungan seseorang dengan orang lain. Bergaul adalah satu cara seseorang untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Bergaul dengan orang lain menjadi satu kubutuhan yang sangat mendasar, bahkan bisa dikatakan wajib bagi setiap manusia yang ‘masih hidup’ di dunia ini. Al-Qur’an menjelaskan secara gamblang alasan yang mengharuskan manusia harus bergaul dengan yang lainnya..
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ﴿١٣﴾
Artinya:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

            Sabab Nuzul
            Menurut Abu Daud, ayat ini turun berkenaan dengan Abu Hind yang pekerjaan sehari-harinya sebagai pembekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah agar menikahkan salah satu putri mereka dengan Abu Hind, tetapi mereka enggan melakukannya. Mereka beralasan, Abu Hind adalah bekas budak mereka. Sikap keliru ini yang kemudiaan dikecam al-Qur’an dengan menegaskan bahwa kemuliaan di sisi Allah bukan dari garis keturunan atau kebangsawanan, tetapi karena ketakwaan.
            Versi lain menyebutkan, ayat ini turun ketika Usaid Ibn Abi al-Ish berkomentar mendengar Bilal mengumandangkan azan di Ka’bah dengan nada mengejek: Alhamdulillah, Ayahku wafat sebelum melihat kejadiaan ini”. Ada lagi yang berkomentar: “Apakah Muhammad tidak menemukan selaian burung gagak ini untuk beradzan?”

            Ayat di atas menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia dengan perbedaan jenis kelamin, suku dan bangsa. Perbedaan ini tidak harus menimbulkan perpecahan, melainkan dorongan untuk saling mengenal. Al-Qur’an menggunakan kalimat li ta’rafu (لتعارفوا). Kata kerja dari kalimat ini terambil dari kata ‘arafa (عرف)
yang berarti mengenal. Patron (pola) kata yang dipakai ayat ini mengandung makna timbal balik, dengan demikian berarti saling mengenal.        
            Perbedaan bangsa, suku, bahasa, adat, dan kebiasaan  menjadi satu paket ketika Allah menciptakan manusia, sehingga manusia dapat saling mengenal satu sama lainnya. Sekali lagi, tak ada yang dapat membedakan kecuali ketakwaannya. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu kita tumbuhkembangkan agar pergaulan kita dengan sesama muslim menjadi sesuatu yang indah sehingga mewujudkan ukhuwah islamiyah. Tiga kunci untuk mewujudkannya yaitu ta’aruf, tafahum, dan ta’awun. Inilah tiga kunci utama yang harus kita lakukan dalam  pergaulan.


Adapun istilah gaul atau bergaul mengandung arti bercampur, yaitu mengandaikan hubungan seseorang dengan orang lain. Sehingga yang dimaksud dengan adab bergaul adalah tata cara tingkah laku manusia dalam berhubungan atau bersosialisasi dengan orang lain. Dan yang perlu diinggat, penerapan dua kata itu dalam kehidupan kita sehari-hari haruslah saling terkait dan beriringan satu sama lainnya. Bergaul tanpa adab ibarat kendaraan yang sedang melaju di jalan raya, tetapi tidak memperdulikan rambu-rambu lalu lintas yang ada.


Gambaran seseorang yang memiliki adab bergaul misalnya, dalam berbicara selalu menggunakan tutur kata yang baik dan santun, menghindari ucapan yang dapat melukai hati, dan menjauhi pembicaraan yang menimbulkan fitnah. Saat bertemu dengan teman atau saudaranya, ia juga tidak enggan untuk menyapa dan menyampaikan salam. Begitu pula ketika ada orang yang sangat membutuhkan, ia tidak akan berat hati untuk membantu dan mengulurkan tangannya.
Dalam tingkatan yang lebih luas, kita sering juga mendengar istilah ‘bangsa yang beradab’ atau ‘masyarakat yang beradab’, maka yang dimaksud adalah bangsa yang masyarakatnya memiliki sikap, prilaku atau tata cara hidup yang mencerminkan nilai-nilai sopan santun, kebaikan, kehalusan maupun budi pekerti. Dalam masyarakat seperti ini akan terbangun sikap saling menghargai, menghormati dan tolong-menolong antar sesama. Yang kaya bersedia membantu yang miskin, dan sebaliknya yang miskin mampu menghargai yang kaya. Yang muda menaruh hormat kepada yang tua, dan yang tua menyayangi yang muda. Kondisi semacam ini lah yang membuat sebuah masyarakat atau bangsa menjadi aman, damai dan tentram.
    
            Mengapa kita harus memiliki adab?
            Al-Qur’an adalah kitab pedoman hidup bagi umat manusia. Di dalamnya berisikan berbagai aturan atau petunjuk. Salah satu diantaranya adalah petunjuk tentang adab (tata cara) dalam bergaul dengan orang lain.
           
            Manusia adalah makhluk yang paling sempurna karena akal budinya
            Sebagaimana ditegaskan al-Qur’an, manusia diciptakan dalam sebaik-baik bentuk (ahsan al-taqwim). Manusia dikarunia Allah memberikan kepada manusia karunia lebih yang membedakannya dari makhluk lainnya. Manusia dibekali akal yang membuatnya mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, sehingga dapat menerima petunjuk kebenaran agama. Begitu pula dengan hati, manusia memiliki rasa kasih sayang, empati dan simpati, sehingga mampu mengulurkan tangan kepada orang yang membutuhkan, membantu saudaranya yang sedang dihimpit kesulitan, menghormati dan menghargai jerih payah orang yang bekerja. Tanpa akal dan hati sudah bisa dipastikan derajat manusia tidak ubahnya seperti binatang, makhluk yang tidak memiliki kepekaan terhadap adab sopan santun. Al-Qur’an menggambarkan secara jelas dan lugas sosok manusia yang tidak memfungsikan potensi kemanusiannya tidak ubahnya seperti binatang, bahkan lebih buruk lagi. Dan manusia yang demikianlah yang akan menjadi penghuni neraka bersama makhluk lain yang inkar kepada Allah SWT.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيراً مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ ﴿١٧٩﴾
Artinya :

            Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahka lebih buruk lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-‘Araaf: 179)





Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya
Di antara manusia yang hidup di muka bumi dengan beraneka ragam latar belakang suku bangsa, adat kebiasaan serta agama dan kepercayaannya, orang yang beriman lah yang ditasbihkan sebagai orang yang paling baik akhlaknya. Seperti apa yang telah diungkapan oleh Nabi SAW dalam salah sabdanya.
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً
Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. (HR. Ahmad, al-Hakim dll)
Pernyataan Nabi ini tentu sangat beralasan. Orang mukmin adalah orang yang percaya dan membenarkan sepenuh hati akan keberadaan dan kekuasaan Allah (tasdiq bi al-qalb),  mampu mengungkapkan lewat ucapannya (al-taqrir bi al-lisan) dan membuktikannya dalam tindak perbuatan (al-tathbiq bi al-arkan). Keyakinan yang  penuh inilah yang membuat seorang mukmin tunduk dan patuh atas semua perintah dan petunjuk-Nya.
Kepatuhan orang mukmin kepada Allah SWT mengharuskannya untuk patuh kepada Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya.
Menjadikan orang beriman terdepan dalam akhlak dan budi pekerti, tidak lepas dari figur Nabi Muhammad sebagai teladan terbaik (uswah hasanah). Kehadirannya sebagai utusan Allah di muka bumi adalah dengan membawa misi peradaban, yaitu memperbaiki dan menyempurnakan adab moralitas manusia yang sedang mengalami krisis dan dekadensi. Misi ini disampaikan langsung dalam sebuah hadisnya.
   اِنَّماَ بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكاَرِمَ اْلأَخْلاَقِ
                        Sesungguhnya aku hanyalah diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”

Misi kerasulanan tersebut akan nampak jelas relevansinya bila kita menilik sejarah peradaban Islam awal. Saat turunnya al-Qur’an bersamaan dengan misi kerasulan Nabi, masyarakat Arab diidentifikasi sebagai masyarakat jahiliyah. Disebut jahiliyah bukan berarti bahwa orang-orang Arab itu bodoh, akan tetapi yang dimaksud kejahiliyahan masyarakat Arab adalah ketidaktahuan dan ketidakpedulian mereka terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Bisa dibayangkan, setiap ada bayi perempuan yang lahir, maka tidak segan-segan orang Arab membunuh dan menguburnya hidup-hidup. Karena sudah menjadi tradisi saat itu, kelahiran anak perempuan dianggap hanya akan membawa sial. Kahadirannya di muka bumi bukan membuat hati gembira, melainkan menjadikan muka sang orang tua geram padam. Keberadaannya tidak akan membawa berkah apa-apa, kecuali cercaan dan hinaan dari orang-orang sekitar. Persepsi terhadap anak perempuan sedemikian rendahnya di mata orang-orang Arab kala itu karena kaum hawa dianggap tidak mampu berperan dalam medan pertempuran untuk membela kehormatan suku dan harga diri keluarga. Al-Qur’an merekam dengan baik tindakan yang tidak beradab ini.
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأُنثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدّاً وَهُوَ كَظِيمٌ ﴿٥٨﴾
يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِن سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاء مَا يَحْكُمُونَ ﴿٥٩﴾

Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (QS. al-Nahl: 58-59)

            Menjadikan sesuatu lebih bernilai
            Tatkala para sahabat menanyakan kepada Rasul tentang jalan apa yang harus ditempuh agar manusia dapat mencapai kebahagiaan, dan mengapa kebahagiaan itu tak kunjung datang meskipun di sana sini harta benda telah bertumpuk-tumpuk, bahkan setiap orang yang berhak sudah mendapat bagiaannya yang layak dan pantas, maka Rasul pun menjawab, “Kalian tidak akan dapat membahagiakan orang banyak dengan harta benda dan kedudukan, melainkan dengan akhlak lah kalian akan dapat mendatangkan kebahagiaan kepada mereka.”
Jawaban Nabi di atas menggambarkan bahwa kedudukan tinggi dan kekayaan yang melimpah tidak akan membawa fungsi sosial yang berarti bagi seseorang selama tidak diimbangi dengan adab atau akhlak yang baik kepada sesama. Tidak heran kalau orang tua dulu selalu berpesan,”Hidangkanlah makanan yang hanya rebusan dan cabe yang bergiling saja, itu sudah akan menjadikan sedap dan lezat bila Engkau sajikan dengan cara yang beradab, dibanding makanan dengan lauk pauk yang beraneka ragam namun dihidangkan oleh orang yang tidak tahu adab.”  
Gambaran di atas menunjukkan bahwa nilai sesuatu tidak cukup dipandang dari sisi kuantitas (banyak-sedikit) dan kualitasnya (baik-buruk), melainkan harus dilihat pula dari bagaimana cara memperlakukannya. Orang yang berilmu tetapi tak beradab tentu tidak bisa dianggap lebih baik dari pada orang yang tak berilmu tetapi beradab.
Bagi orang beriman, sebuah perbuatan yang dibalut dengan adab atau akhlak yang baik, tidak hanya bernilai di mata orang lain selama di dunia, melainkan juga akan akan bertambah nilainya dalam pandangan Allah kelak di akhirat. Janji Allah ini terungkap dalam sebuah pernyataan hadis Nabi.
مَا مِنْ شَئٍْ اَثْقَلَ فِيْ مِيْزاَنِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِياَمَةِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ (رواه الترميذي)
Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada hari kiamat, melebihi akhlak yang luhur (HR. Al-Tirmidzi)

Penjelasan di atas cukup memperlihatkan bagaimana pentingnya adab atau akhlak bagi umat manusia, terlebih lagi bagi kaum beriman yang telah dijadikan Allah SWT sebagai teladan bagi umat manusia yang lain. Adab atau akhlak yang dimiliki orang yang beriman tidak hanya berdampak kepada lingkungan mereka sendiri, akan tetapi juga berdampak pada citra agama Islam di mata umat lain. Sebagaimana yang terjadi pada diri Nabi yang dinobatkan oleh seorang penulis orientalis sebagai tokoh legendaris yang paling berpengaruh di muka bumi ini, melebihi tokoh-tokoh dunia yang lain (termasuk Nabi atau Rasul yang lain) bukan hanya karena status kenabiannya ataupun kerasulannya, melainkan karena ketinggian akhlak dan kemuliaan budi pekertinya. Tidak hanya umat Islam sendiri yang meneladaninya, akan tetapi umat lainpun banyak yang menaruh empati dan simpati hingga menjadikannya sebagai teladan hidup sepanjang  masa.
Rancangan
ADAB DALAM BERGAUL
  • Apa itu adab?
  • Mengapa kita harus memiliki adab?
Ø      Manusia adalah makhluk yang paling sempurna karena akal budinya
Ø      Orang yang beriman adalah kelompok yang paling baik akhlaknya
Ø      Mejadikan sesuatu lebih bernilai
  • Al-Qur’an adalah cermin adab orang mukmin
  • Bagaimana al-Qur’an berbicara tentang adab dalam bergaul?
Ø      Saling mengenal (ta’aruf)
(QS. Al-Hujurat:  )
Ø      Saling memberi hormat (al-tahiyyah)
(QS. Al-Nisa’: )
Ø      Saling menolong (ta’awun)
(QS. Al-Maidah: )
Ø      Tidak saling mengolok-ngolok
(QS. Al-Hujurat: )
Ø      Tidak saling mencela
(QS. Al-Hujurat: )
Ø      Tidak saling memanggil dengan panggilan buruk
(QS. Al-Hujurat: )
Ø      Tidak berburuk sangka
(QS. Al-Hujurat: )
Ø      Tidak berbuat ghibah
(QS. al-Hujurat: )
  • Bagaimana menyiasati pergaulan di masa kini?
  • Penutup









“(Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup) karena takut tercela mempunyai anak perempuan dan takut jatuh miskin (ditanya) untuk menjelek-jelekkan pelakunya.” (QS. Al-Takwir: 8).

telah banyak mengajarkan banyak hal tentang kehidupan manusia. Jatuh bangunnya sebuah peradapan selalu terkait dengan kisah kehidupan manusianya. Cerita sejarah kejayaan Islam cukuplah menjadi contoh yang nyata. Di masa keemasan, kekuasaan umat Islam hampir meliputi seluruh bagian belahan dunia.

            Bagaimana al-Qur’an berbicara tentang adab bergaul?
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا لاَ يَسْخَرْ قَومٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوْا خَيْراً مِِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْراً مِِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴿١١﴾

Artinya :
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Al-Quran turun dengan membawa sebuah misi. Kehadirannya adalah sebagai petunjuk (huda) bagi segenap manusia untuk menyelamatkan kehidupan mereka dari kesesatan dan kehancuran. Seperti dilukiskan oleh para sejahrawan, turunnya al-Qur’an pada saat bangsa Arab berada dalam kondisi yang teramat memprihatinkan.   
Manusia terlahir dalam sebuah kebersamaan. Kelahiran seorang bayi karena jalinan kebersamaan antara suami istri.   
Sudah menjadi kebutuhan dasar manusia keinginan untuk hidup bersama. Karena kebutuhan ini pula, manusia dituntut untuk saling mengenal. Bagaimana mungkin orang bisa hidup bersama kalau tidak saling mengenal. Pepatah populer, tidak kenal maka tidak sayang, cukup membuktikan kenyataan ini.
Tak ada seorang pun yang akan bisa hidup sendiri. Karena itulah, sering kali manusia disebut sebagai makhluk sosial, mengingat tidak bisa Mulai dari lingkup yang paling kecil, kebutuhan untuk hidup bersama sangat terasa. 

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya”.


الَدِّّيْنُ اَلْمُعاَمَلَةُ
 Agama dalah interaksi yang baik.
مَا مِنْ شَئٍْ اَثْقَلَ فِيْ مِيْزاَنِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِياَمَةِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ (رواه الترميذي)
Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada hari kiamat, melebihi akhlak yang luhur (HR. Al-Tirmidzi
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً
“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya, adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad, Al Hakim dll)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar