1. Latar belakang masalah
Ada seorang
ayah mati meninggalkan isteri dan anak yang masih kecil isteri tersebut sangat
kuatir kalau sampai memakan harta anak yatim, sebagaimana surat an nisa ayat 10:
Soal:
Sejauh mana pengertian tentang ( ظُلْمًا ) dan bagaimana caranya seoarang janda
tersebut tidak termasuk memakan harta anak yatim?
Jawab:
Pengertian tentang (ظُلْمًا ) adalah mengambil harta anak yatim tidak
melalui prosedur yang benar menurut syari'at ( بِغَيْرِ حَقٍّ).
Sedangkan caranya,
begitu sang suami meninggal dunia, mak sang isteri atau janad tersebut
hendaknya meminta seseorang untuk menanggung biaya perawatan jenazah termasuk
biaya konsumsi hari kematian dan lain –lain, setelah itu harta peninggalan
dibagi sesuai ketentuan ilmu fara'id kepada ahli waris yang ada, kemudian
seluruh tanggungan biaya perawatan jenazah dibebankan kepada semua ahli warits
yang telah menerima bagian tirkah tersebu, kecuali bagianya anak yatim.
Kemudian untuk masa selanjutnya kalau
janda tersebut dalam keadaan kecukupan maka wajib menjauhi memakan harta anak
yatim, sedangkan kalau fakir maka boleh memkan sebatas upah pekerjaan (……)
mengelola harta anak yatim tersebut.
Referensi:
Tafsir jalain surat an nisa ayat 10
﴿ إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ الْيَتَامى ظُلْمًا ﴾
بِغَيْرِ حَقٍّ ﴿ إِنمَّاَ يَأْكُلُوْنَ فىِ بُطُوْنِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ
سَعِيْرًا ﴾ (النساء : ۱٠).
Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim (dengan tanpa hak)
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk
kedalam api yang menyala-nyala (neraka). [TQS. An-Nisa/4: 10]
Hasyiah showi juz 1 204
( وَمَنْ كَانَ مِنَ اْلأَوْلِيَاءِ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ
أَىْ يَعِفُّ عَنْ مَالِ اْليَتِيْمِ وَيمْتَنِعُ مِنْ أَكْلِهِ وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا
فَلْيَأْكُلْ مِنْهُ بِاْلمَعْرُوْفِ بِقَدْرِ أُجْرَةِ عَمَلِهِ قوله
أَىْ يَعِفُّ عَنْ مَالِ اْليَتِيْمِ أَىْ يَتَبَاعَدُ عَنْهُ لِمَا فِيْهِ مِنَ
الْوَعِيْدِ العَظِيْمِ إِلَى أَنْ قَالَ ........فَالْوَاجِبُ عَلَى اْلوَالِىِّ
إِنْ كَانَ غَنِياًّ التَّباَعُدُ عَنْ مَالِ اْليَتِيْمِ بِالْمَرَّةِ بَلْ
يَنْبَغِى لَهُ أَنْ لاَ يُخَلِّطَ مَالَهُ بِمَالِهِ بَلْ يُعْطِيَهُ لِغِيْرِهِ
لِيَتَّجِرَ لَهُ فِيْهِ وَيَكُوْنُ هُوَ نَاظِرًا عَلَيْهِ.
Barangsiapa (diantara pemelihara itu)
mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan
barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.
Seukuran upah pekerjaannya…[ucapannya] “hendaklah ia menahan diri dari memakan
harta anak yatim itu” maksudnya adalah menjauh dari memakannya, karena padanya
ada ancaman yang besar, hingga dia (musonnif) berkata: Maka yang wajib bagi
seorang wali apabila ia mampu adalah menjauh dari memakan harta anak yatim
……….. bahkan seyogyanya bagi dia agar tidak mencampur hartanya dengan harta anak yatim tadi, bahkan dianjurkan
baginya untuk memberikan harta anak yatim tersebut kepada orang lain agar orang
tersebut berdagang dengan harta tadi guna mencari keuntungan untuknya, dan dia
(wali/pemelihara) mengawasinya.
Madzahib al arba'ah juz 1 hal 539
وَمِنَ
اْلبِدَعِ اْلمَكْرُوْهَةِ مَا يُفْعَلُ اَلْآنَ مِنْ ذَبْخِ الذَّبَائِخِ عِنْدَ
خُرُوْجِ الْمَيِّتِ مِنَ اْلبَيْتِ أَوْ عِنْدَ اْلقَبْرِ وَاِعْدَادِ الطَّعَامِ
لِمَنْ يَجْتَمِعُ لِلتَّعْزِيَةِ وَتَقْدِيْمِهِ لَهُمْ كَمَا يُفْعَلُ ذَلِكَ
فىِ الْاَفْرَاحِ وَمَحَافِلَ السُّرُوْرِ
وَإِذَا كَانَ فِى الْوَرَثَةِ قَاصِرٌ عَنْ دَرَجَةِ الْبُلُوْغِ حَرُمَ
إِعْدَادُ الطَّعَامِ وَتَقْدِيْمُهُ.
Dan termasuk perkara-perkara bid’ah
yang dimakruhkan adalah apa yang dilakukan saat ini dari menyembelih hewan
sembelihan tatkala keluarnya mayit dari rumah atau ketika di kuburan dan
menyiapkan makanan untuk disuguhkan kepada orang yang berkumpul berta’ziyah dan
menyuguhkannya kepada mereka, sebagaimana hal tersebut dilakukan pada
acara-acara atau perayaan-perayaan ......................... dan apabila pada
ahli waris ada seorang yang usianya tidak mencapai usia baligh, maka haram
hukumnya menyediakan dan menyuguhkan makanan tersebut.
Jamal manhaj juz 2 hal 216
وَمِنَ
اْلبِدَعِ اْلمُنْكَرَةِ اْلمَكْرُوْهَةِ فِعْلُهَا مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ
مِمَّا يُسَمَّى بِالْكَفَارَةِ وَمِنَ الْوَخْشَةِ وَالْجَمْعِ وَاْلأَرْبَعِيْنَ
وَنَحْوِ ذَلِكَ بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ إِنْ كَانَ مِنْ مَالِ اْلمَحْجُوْرِ
وَلَوْ مِنَ التِّرْكَةِ أَوْ مِنْ مَالِ مَيِّتٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَوْ تُرَتَّبُ
عَلَيْهِ ضَرَرٌ أَوْ نَحْوُ ذَلِكَ.
Dan
termasuk perkara bid’ah yang keji dan dibenci melakukannya adalah apa yang
dilakukan manusia dari apa yang dinamakan kafarah (pelebur), wahsyah (),
jama’, dan 40 dan semisalnya, bahkan semua itu adalah haram apabila
diambilkan dari harta orang mahjur (orang yang dicegah membelanjakan hartanya
sendiri) meskipun dari harta peninggalan atau dari harta mayit akan tetapi dia
(mayit tersebut) masih mempunyai hutang yang belum dibayar, atau berakibat
atasnya suatu bahaya atau semisalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar