Jumat, 23 Maret 2012

Hukum mengerakkan jari telunjuk dlm sholat



Hukum Menggerak-gerakkan Jari dalam Shalat

Berikut ini diketengahkan ulasan lain tentang menggerakkan telunjuk pada saat tahiyat, seperti yang pernah dibahas sebelumnya. (redaksi)

Jika kita perhatikan, saat duduk tasyahhud dalam shalat memang tidak semua orang menggerakkan jari telunjuk dengan cara yang sama. Ini semata-mata karena perbedaan ulama dalam memahami hadits. Perbedaan ini terjadi sejak zaman tabi’in dan ulama mazhab. Perbedaan ini tidak menyebabkan tidak sahnya shalat dan tidak pula menyebabkan kesesatan, karena perbedaannya dalam hal furu’iyah yang masing-masing mempunyai dalil hadits Rasulullah SAW.

Adapun hadits yang dipahami berbeda-beda oleh ulama adalah hadits Rasulullah saw.:
عن ابن عمر رضي الله عنهما: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم اِذَاَ قَعَدَ لِلتَّشَهُّدِ وَضَعَ يَدَهُ اليُسْرَى عَلىَ رُكْبَتِهِ وَاليُمْنَى عَلىَ اليُمْنىَ, وَعَقَدَ ثَلاَثاً وَخَمْسِيْنَ وَأَشَارَ بِإِصْبِعِهِ السَّباَبَةِ --رواه مسلم

Dari Ibnu Umar RA bahwa Rasulullah SAW jika duduk untuk tasyahhud, beliau meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya, dan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan membentuk angka “lima puluh tiga”, dan memberi isyarat (menunjuk) dengan jari telunjuknya” (HR Muslim).

Yang dimaksud dengan “membentuk angka lima puluh tiga” ialah suatu isyarah dari cara menggenggam jari kelingking, jari manis dan jari tengah disebut angka tiga, dan menjadikan ibu jari berada di atas jari tengah dan di bawah jari telunjuk.

Adapun penyebab terjadinya perbedaan ulama tentang cara isyarah dengan jari telunjuk saat tasyahhud apakah digerakkan atau diam saja dan kapan waktunya adalah karena ada hadits yang sama denga di atas dengan tambahan teks (matan) dari riwayat lain, yaitu hadits yang diceritakan dari Sahabat Wail RA:
ثُمَّ رَفَعَ اصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهاَ يَدْعُوْ --رواه أحمد

”..... Kemudian beliau mengangkat jarinya sehingga aku melihatnya beliau menggerak-gerakkanya sambil membaca doa.” (HR: Ahmad).

Sedangkan hadits yang diriwayatk dari Ibn Zubair RA:
 أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كاَنَ يَشِيْرُ بِإِصْبِعِهِ إِذَاَ دَعَا لاَ يُحَرِّكُهَا --رواه أبو داود والنسائي

“Bahwa Nabi SAW memberi isyarat (menunjuk) dengan jarinya jika dia berdoa dan tidak menggerakkannya. (HR Abu Daud dan Al Nasai)

Dari Hadits tersebut Imam Mazhab fiqh sepakat bahwa meletakkan dua tangan di atas kedua lutut pada saat tasyahhud hukumnya adalah sunnah. Namun juga para imam mazhab berbeda pendapat dalam hal menggenggam jari-jari dan berisyarat dengan jari telunjuk (Alawi Abbas al Maliki, Ibanahtul Ahkam, Syarh Bulughul Maram, Indonesia: al Haramain, Juz 1, h. 435-437. Dan lihat pula Al Juzayri, Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah, Beirut: Darul Fikr, 1424 H. Juz 1, h. 227-228).

1. Menurut ulama mazhab Hanafi, mengangkat jari telunjuk dilakukan pada saat membaca lafadz “Laa Ilaaha”, kemudian meletakkannya kembali pada saat membaca lafadz “illallah” untuk menunjukan bahwa mengakat jari telunjuk itu menegaskan tidak ada Tuhan dan meletakkan jari telunjuk itu menetapkan ke-Esa-an Allah. Artinya, mengangkat jari artinya tidak ada Tuhan yang berhak disembah dan meletakkan jari telunjuk untuk menetapkan ke-Esa-an Allah.

2. Menurut ulama mazhab Maliki, pada saat Tasyahhud tangan kanan semua jari digenggam kecuali jari telunjuk dan ibu jari di bawahnya lepas. kemudian menggerak-gerakkan secara seimbang jari telunjuk ke kanan dan ke kiri

3. Menurut ulama mazhab Syafi’i, mengenggam jari kelingking, jari manis dan jari tengah. Kemudian memberi isyarat (menunjuk) dengan jari telunjuk sekali saja saat kalimat “illallah” (الا الله) diucapkan:

4.Menurut mazhab Hambali, mengenggam jari kelingking, jari manis dan jari tengah dengan ibu jari. kemudian memberi isyarat (menunjuk) dengan jari telunjuk saat kalimat “Allah” ( الله) diucapkan ketika  tasyahhud dan doa

5. Pendapat Syeikh Al-Albani. (Lihat kitab Sifat Shalat Nabi halaman 140). bahwa menggerakkan jari dilakukan sepanjang membaca lafadz Tasyahhud.
Imam al-Baihaqi menyatakan:
وَقَالَ البَيْهَقِيْ: يَحْتملُ  أَنْ يَكُوْنَ مُرَادُهُ بِالتَحْرِيْكِ الإِشَارَةُ حَتَّى لاَيُعَارِضَ حَدِيْثَ ابْنِ الزُبَيْر

Kemungkinan maksud hadits yang menyatakan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan saat tasyahhud adalah isyarat (menunjuk), bukan mengulang-ulang gerakkannya, agar tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Zubair yang menyatakan tidak digerakkannya jari telunjuk tersebut. Hikmah memberi isyarah dengan satu jari telunjuk ialah untuk menunjukkan ke-Esa-an Allah dan karena jari telunjuk yang menyambung ke hati sehingga lebih mendatangkan kekhusyu’an.

Senin, 19 Maret 2012

Cara terbaik yg harus dilakukan ketika ada orang sekarat.

Fiqh Islam memberikan tuntunan terkait tindakan yang dilakukan terhadap orang yang sakit keras / sekarat ( muhtadlir ). Apabila nampak tanda-tanda ajalnya sudah tiba, maka tindakan yang sunah dilakukan oleh orang yang sedang menungguinya adalah: 1. Membaringkan muhtadlir pada lambung sebelah kanan untuk menghadapkannya ke arah kiblat. Jika tidak memungkinkan,semisal disebabkan tempatnya terlalu sempit atau ada semacam gangguan pada lambung kanannya, maka ia dibaringkan pada lambung sebelah kiri. Dan jika masih tidak memungkinkan, maka ditidur lentangkan menghadap kiblat dengan memberi ganjalan di bawah kepala agar wajahnya bisa lurus menghadap ke arah tersebut. 2. Membaca surat Yasin dengan agak keras dan al-Ro’du dengan suara yang pelan. Faidah pembacaan Surat ini – kata al-Qulyubi, adalah mempermudah keluarnya ruh, disamping ada sebuah hadits yang menjelaskan,bahwa ia akan mati, masuk dan bangkit dari alam kubur dalam keadaan segar bugar. Dalam Nihayah Az-Zain, Syaikh Nawawi Banten menambahkan, jika tidak mungkin membaca keduanya, maka surat yang dibaca disesuaikan dengan keadaan muhtadlir . Yakni apabila masih ada kesadaran dalam diri muhtadlir , maka surat Yasin-lah yang dibaca. Dan jika sudah tidakada, maka yang dibaca adalah surat al-Ro’du karena surat ini berfaedah mempermudah keluarnya ruh. 3. Men- talqin dengan kalimat Tahlil secara santun (lembut) tidak menampakkan kesan memaksa. Semisal, mulaqqin (orang yang mentalqin) mengingatkan disampingnya dengan ucapan: “ dzikir kepada Alloh itu amat diberkahi” , atau mengajak hadirin dzikir bersama. Dalam talqinnya, Mulaqqin tidak perlu menambahkan lafadz Asyhadu kecuali muhtadlir bukan seorang mukmin dan ada harapan ia masuk Islam, maka talqinnya disamping harus mencantumkan lafadz tersebut juga harus disempurnakan menjadi dua kalimat syahadat agar ia meninggal dalam keadaanIslam. Talqin ini tidak usah diulang kembali jika muhtadlir telah mampu mengucapkannya, selamaia tidak berbicara lagi – dan menurut Ulama’ Jumhur, walaupun mengenai hal-hal yang berkenaan dengan akhirat. Karena tujuan talqin ini, agar kalimat Tahlil menjadi penutup kalimat yang terucap dari mulutnya. Rosululloh bersabda : مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا الله دَخَلَ الْجَنَّةَ Barangsiapa yang akhir perkataannya adalah “Laa ilaahaillallâh”, maka dia masuk sorga. 4. Sunah memberi minum, lebih-lebih jika nampak gejala ia menginginkannya. Karena dalam kondisi seperti itu, syeitan bisa saja menawarkan minuman yang akan ditukar dengan keimanannya. Sesaat Setelah Ajal Tiba Setelah muhtadhir telah melalui kematiannya, seperti adanya tanda-tanda mengendornya telapak tangan dan kaki, cekungnya pelipis dan hidung yang tampak lemas, tindakan berikutnya yang sunah dilalukan adalah: ¤¤1. Memejamkan kedua matanya seraya membaca: بِاسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم اللَّهُمَّ يَسِّرْ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَسَهِّلْ عَلَيْهِ مَا بَعْدَهُ وَأَسْعِدْهُ بِلِقَائِك وَاجْعَلْمَا خَرَجَ إلَيْهِ خَيْرًا مِمَّا خَرَجَ مِنْهُ الّلهُم اغْفِرلَهُ وَارْحَمْهُ وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فىِ المَهْدِيينَ وَاخْلُفْهُ فىِ عَقِبهِ الغَابِرِينَ وَاغْفِرْلناَ وَلَهُ ياربَّ العَالَمِينَ وَافسَحْ لَهُ فىِ قَبْرِهِ وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ Jika sampai terlambat hingga kedua matanya tidak bisa dipejamkan, maka cara memejamkannya dengan menarikkedua lengan serta kedua ibu jari kakinya secara bersamaan, niscaya kedua mata tersebut akan terpejam dengan sendirinya.

Hukum masturbasi,onani dan a'zl

Hukum ONANI/ MASTURBASI Dalam istilah fiqh onani/ masturbasi disebut ISTIMNAA’ yang berarti merangsang keluarnya sperma di luar senggama baik dengan media haram seperti memakai tangan sendiri, bantal, dildo, bolpoint, spidol, botol dan lain-lain atau bahkan hanya dengan fantasi-fa ntasi yang sengaja di ciptakan sendiri seperti lagi mbayangin Nikita willy, Willy Dozan dan willy-will y yang lain … Hehe, atau dgn memakai rangsangan alat yang di halalkan seperti memakaitangan istri sendiri (al-Mahall a biattsar IX/223) Onani yang dilakukan dengan motif ISTID’A’IS SYAHWAH (melampias kan gejolak birahi) jelas diharamkan sebab tindakan ini telah melampaui batas-bata s seks yang dilegalkan (QS. Al-Mu’minu un 5-7) Sedang Onani yang dilakukan dengan motif TASKIINIS SYAHWAH (meredam gejolak nafsu) ulama berbeda pendapat, menurut satu versi diperboleh kan bila dilakukan sebagai alternatif menghidari dosa yang lebih besaryakni khawatir zina. Menurut Imam Ahmad bagaimanapun onani hukumnya haram karena kekhawatir an zina masih bisa diredam dengan berpuasa atau lewat mimpi indah(bila sudah full tang akan mbludhak sendiri), sedang menurut Ibnu ‘Abidin dari madzhab Hanafiyyah Istimna’ wajib dilakukan bila memang menjadi satu-satun ya solusi membebaska n diri dari perzinahan Versi yang melegalkan istimna’ dalam kondisi kepepet di atas masing-mas ing mensyaratk an : • Tidak memiliki lahan syah untukmelampiask an birahi • Kondisi birahinya bergejolak • Dilakukan semata-mat a demi meredam bukan meluapkan gejolak birahi, dan khusus point yang ketiga ini di butuhkan kejujuran hati seseorang sebagaibukti kesalehan tindakanny a (Muhammad Bin Muhammad al-Khodimy -Bariqoh Mahmudiyya h fii Syarh Thoriqoh Muhammadiy yah wa syar’iyyah nabawiyyah ) Efek Negatif Onani • Efek Fisik Tubuhnya kurus, betisnya lemah dan kendor, kedua matanya cekung dan biru, aura wajahnya pucat, tangannya lemah, badannya gemetar bila di ajukanpertanyaan , dan menyebabka n organ seksnya lemah • Efek Psikis Onani yang menjadi kebiasaan akan mengakibat kan seseorang cenderung berpemikir an rendah,berwatak dan bernaluri keras, dungucerob oh, emosional dan suka marah-mara h hanya karena masalah sepele, tidak memiliki prinsip teguh dan suka menyendiri (Syekh Ali Ahmad Al-Jurjawy , Hikmah at-Tasyri’ wal falsafatuh u II/ 290-291) Hukum 'Azl 'Azl atau Senggama Terputus (Coitus Interuptus ) Dalam literatur Fiqh istilah 'Azl diartikan sebagai tindakan suami mencabut penis dalam bersenggam a ketika mendekati ejakulasi dan mengeluark an sperma diluar rahim agar tidak terjadi pembuahan, secara hukum setidaknya ada empat pandangan berbeda mensikapi masalah Azl ini : 1. Boleh Secara Mutlak Pendapat ini dilansir oleh kalangan Syafi'iyya h dengan berdasarka n hadits Shahih yangdiriwayatk an dari Jabir Ra وَعَنْ جَابِرٍ – رضي الله عنه – قَالَ : – كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَالْقُرْآ نُ يَنْزِلُ, وَلَوْ كَانَ شَيْئًا يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ اَلْقُرْآن ُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ (1) . وَلِمُسْلِ مٍ : – فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِيَّ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ يَنْهَنَا – (2) . 1. "Kami melakukan Azl dimasa Rasululloh SAW sementara Alquran turun, jika saja hal itu larangan niscaya alQuran akan melarang kami melakukann ya" (Mutafaq 'Alaih/ Sunan Ibnu Maajah Vol 1 Hal 620) 2. “Kami melakukan `azl pada masa Nabi SAW. Kabar tersebut sampai kepada beliau, tetapi beliau tidak melarangny a”. (HR Muslim) Akan tetapi menurut An-Nawawy(Ulama' Syafiiyyah ) dalam Syarh Muslim menegaskan apabila Azl dilakukan demi menghindar i kehamilan hukumnya makruh secara mutlak baik ada kerelaanpihak istri atau tidak karena tindakan Azl dianggap memutus keturunan. 2. Makruh apabila ada HAJAT Statement ini dipegang oleh kalangan Hanabilah dengan dasarbeberapa hadits yang diriwayatk an oleh Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Umair dan Ibnu Umair yang membenci Azl karena dapat mengurangi jumlah keturunan yang dianjurkan syara' Sabda Nabi saw "Menikahla h kalian dan memperbany ak keturunan" 3. Boleh apabila ada kerelaan Istri Pendapat ini Statemen dari Imamahmad berdasarka n sebuah Hadits dari Umair yang diriwayatk an Ibnu Majah هَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعْزَلَ عَنْ الْحُرَّةِ إِلَّا بِإِذْنِهَ ا. Dari ‘Umar ibn al-Khattab berkata: "Nabi melarang perbuatan `azl terhadap wanita merdeka kecuali seizinnya” . (HR Ibnu Maajah Vol 1 Hal 620) Perlunya kerelaan dari pihak istriini dikarenaka n istri memiliki Hakatas anak sehingga dengan tindakan Azl akan menghilang kan haknya namun apabila istri memberikan memberikan izin hukumnya tidak makruh. 4. Haram Pendapat ini dilansir oleh kalangan Dhohiriyya h dengan tendensi hadits yang diriwayatk an dari Judzamah Ra أن الصحابة سألوا رسول الله عن العزل فقال : ذلك الوأد الخفي "Sesungguh nya para shahabat bertanya tentang Azl, Nabi menjawab hal itu adalah pembunuhan anak dengan samar" (HR. Muslim)

Wig Pengganti Jilbab, Bolehkah ?

Sebut saja asifah, seorang mahasiswi sebuah universitas di Turki. Sebgai seorang muslimah, Asifah selalu mengenakan jilbab /kerudung sebgai hijab aurotnya. Namun, karena larangan mengenakan hijab di dalam kampus, akhirnya dia memilih jalan alternatif yakni dengan memakai wig (rambut palsu) sebgai pengganti jilbab / kerudung. (Abdulloh) Pertanyaan Bolehkan memakai wig (rambut palsu) dengan alasan trsebut ? Jawaban Pada dasarnya Aurat adalah anggota tubuh yang wajib ditutupi dari pandangan orang lain. Aurat wanita adalah seluruhtubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Ketentuan bagian tubuh yang menjadi aurat ini, selain karena ada ketentuan syara’, juga dimaksudkan untuk kemaslahatan diri si wanita dan juga orang lain, terutama lawan jenis, agar tidak terjerumus dalam perbuatan zina yang bermula dari pandangan pada anggota tubuh. Karenanya, di luar shalat, aurat wanita menurut mayoritas ulama’ adalah seluruh tubuh. Ini karena dengan menyisakan wajah dan telapak tangan yang tidak ditutupi, belum cukup mengantisipasi dampak negatif dari potensi fitnah yang dikandungnya.

           Fitnah yang dimaksud di sini adalah ketertarikan yang berujung pada perbuatan zina atau pendahuluan zina, yang bermula dari pandang mata lelaki pada wajahnya, misalnya. Nah, jika tujuan jilbab adalah semacam ini, maka selain menutup seluruh tubuh (menurut versi mayoritas), atau menyisakan wajah dan telapak tangan (menurut versi yang lain), maka harus pula diperhatikan, bahwa pakaian penutup janganlah pakaian yang menampakkan lekuk tubuh wanita.
          Bagaimana dengan wig?
Permasalahannya adalah,
 >>*. Apakah wig bisa menutup anggota tubuh yang merupakan aurat (kepala, rambut, telinga, leher) secara sempurna?
 >>*. Apakah wig bisa menutup lekuktubuh di bagian dada?
>>*. Dengan wig yang mengesankanrambut asli pada pemandangnya, bukankah tidakmungkin, malah akan menimbulkan ketertarikan yanglebih?
 Nah, memandang pertimbangan ini, wig kiranya belum cukup sebagai pengganti jilbab. Wallahu a’lam.

Referensi ;
*. I’anah al-Thalibin III/258 *. Al-Bajuri II/99 *. Is’ad al-Rafiq II/ 136 *. Fatawi Kubra I/203 *. Tarsyih al-Mustafidin 296-297 *. Tafsir Ayat al-Ahkam li al-Shabuni II/114 إعانة الطالبين الجزء الثالث ص 258 (مهمة) يحرم على الرجل ولو شيخا هما تعمد نظر شئ من بدن أجنبية حرة أو أمة بلغت حدا تشتهى فيه ولو شوهاء أو عجوزا وعكسه، خلافا للحاوي كالرافعي وإن نظر بغير شهوة أو مع أمن الفتنة على المعتمد (قوله: ولو شيخا هما) غاية في حرمة نظر الرجل، والهم، بكسر الهاء وتشديد الميم، الشيخ الفاني (قوله: تعمد نظر الخ) فاعل يحرم. وخرج به ما إذا حصل النظر اتفاقا فلا يحرم. وقوله شئ من بدن أجنبية: أي ولو الوجه والكفين فيحرم النظر إليهما. ووجه الامامباتفاق المسلمين على منع النساء من الخروج سافرات الوجوه، وبأن النظر مظنة الفتنة ومحرك للشهوة، وقد قال تعالى: (قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم) واللائق بمحاسن الشريعة سد الباب والاعراض عن تفاصيل الاحوال كالخلوة بالاجنبية. قال في فتح الجواد: ولا ينافيه، أي ما حكاه الامام من اتفاق المسلمين على المنع، مانقله القاضي عياض عن العلماء أنه لا يجب على المرأة ستر وجهها في طريقها، وإنما ذلك سنة، وعلى الرجال غض البصر لان منعهن من ذلك ليس لوجوب الستر عليهن، بللان فيه مصلحة عامة بسد باب الفتنة. نعم، الوجه وجوبه عليها إذا علمت نظر أجنبي إليها أخذا من قولهم يلزمها ستر وجهها عن الذمية، ولان في بقاء كشفه إعانة على الحرام. إسعاد الرفيق الجزء الثانى ص : 136 قال فى الزواجر وهو من الكبائر لصريح هذه الاحاديث وينبغى حمله ليوافق قواعدنا على ما اذا تحققت الفتنة اما مجرد خشيتها فانما هو مكروه ومع ظنها حرام غير كبيرة كما هو ظاهر اهـ حاشية الباجوري الجزء الثاني ص 99 (مع هامشه) دار الفكر أحدها نظره ولو كان شيخاهرما عاجزا عن الوطء إلى أجنبية لغير حاجة إلى نظرها فغير جائز. (قوله: إلى أجنبية) أي إلى شيء من امرأة أجنبيةأي غير محرم ولو أمة وشمل ذلك وجهها وكفيها فيحرم النظر إليهما ولو من غير شهوة أو خوف فتنة على الصحيح كما في المنهاج وغيره ووجهه الإمام باتفاق المسلمين على منع النساء من الخروج سافرات الوجوه أيكاشفات الوجوه وبأن النظر محرك للشهوة ومظنة الفتنة وقد قال تعالى قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم واللئق من محاسن الشريعة سد الباب والإعراض عن تفاصيل الأحوال كما قالوه في الخلوة بالأجنبية وقيل لا يحرم لقوله تعالى ولايبدين زينتهن إلا ما ظهرمنها وهو مفسر بالوجه والكفين والمعتمد الأول ولا بأس بتقليد الثاني لا سيما في هذا الزمان الذي كثر فيه خروج النساء في الطرق والأسواق فتاوى كبرى الجزء الأول ص 203 قال حجة الإسلام في الإحياء وقد كان أذن رسول الله صلى الله عليه وسلم للنساء في حضور المساجد والصواب الآن المنع إلا العجائز بل استصوب ذلك في زمنالصحابة رضي الله عنهم حتى قالت عائشة رضي الله عنها وذكر ما مر عنهاوقال فيه أيضا في كتاب الأمر بالمعروف ويجب منع النساء من حضور المساجد للصلاة ومجالسالذكر إذا خيفت الفتنة بهن فهذه أقاويل العلماء في اختلاف الحكم فيها بتغير الزمان . وأهل الأقاويل المذكورة هم جمهور العلماء من المجتهدين والأئمة المتقين والفقهاء الصالحين الذين هم من الممهرين فيجب الأخذ بأقاويلهم ; لأنهم علم الأمة واختيارهم لنا خير من اختيارنا لأنفسنا ومن خالفهم فهو متبع لهواه فإن قيل فما الجواب عن إطلاق أهل المذهب غير من مر فالجواب أن محله حيث لم يريدوا كراهة التحريم ما إذا لم يترتب على خروجهنخشية فتنة وأما إذا ترتبذلك فهو حرام بلا شك كمامر نقله عمن ذكر والمراد بالفتنة الزنا ومقدماته من النظر والخلوة واللمس وغير ذلك . ولذلك أطلقوا الحكم في هذه المسألة بدون ذكر محرم يقترن بالخروج وأماعند اقتران محرم به أو لزومه له فالصواب القطعبالتحريم ولا يتوقف فيذلك فقيه ويتضح الأمر بذكر تلك المحرمات المقترنة بالخروج فمنها أن خروجها متبرجة أي : مظهرة لزينتها منهي عنه بالنص ترشيخ المستفيدين ص 296-297 (مهمة) يحرم على الرجل ولو شيخا هما تعمد نظر شئ من بدن أجنبية حرة أو أمة بلغت حدا تشتهى فيه ولو شوهاء أو عجوزا وعكسه، خلافا للحاوي كالرافعي وإن نظر بغير شهوة أو مع أمن الفتنة على المعتمد (قوله: نظر شئ من بدن أجنبية:إلخ – إلى أن قال – ويحرم نظر فحل وخصي ومجبوب وخنثى بالغ إلى عورة حرة كبيرة أجنبية وهي ما عدا وجهها وكفيها بلا خلاف وكذا وجهها وكفيها عند خوف فتنة إجماعا وكذا عند النظر بشهوة بأن يلتذ به وإن أمن الفتنة قطعا وكذا عند الأمن من الفتنة فيما يظنه من نفسه وبلا شهوة على الصحيح ووجه الامام باتفاق المسلمين على منع النساء أن يخرجن سافرات الوجوه، وبأن النظر مظنة الفتنة ومحرك للشهوة فاللائق بمحاسن الشريعة سد الباب والإعراض عن تفاصيل الأحوال كالخلوةبالأجنبية وبه اندفع القول بأنه عورة فكيف حرم نظره لأنه مع كونه غير عورة نظره مظنة للفتنة أوالشهوة ففطم الناس عنه احتياطا على أن السبكي قال الأقرب إلى صنع الأصحاب أن وجهها وكفيها عورة في النظر ولا ينافي ما حكاه الامام من اتفاق نقل المصنف عن قاضي عياض الإجماع على أنه لا يلزمهافي طريقها ستر وجهها ، وإنما هو سنة، وعلى الرجال غض البصر عنهن لان منعهن من ذلك ليس لوجوب الستر عليهن، بللان فيه مصلحة عامة بسد باب الفتنة. نعم، الوجه وجوبه عليها إذا علمت نظر أجنبي إليها أخذا من قوله يلزمها ستروجهها عن الذمية، ولان فيبقاء كشفه إعانة على الحرام. والثاني أي مقابل الصحيح لا يحرم ونسبه الإمام للجمهور والشيخانللأكثرين – إلى أن قال- فالجزم يمنع خروجهن فيهحرج شديد فالحق جواز خروجهن سافرات الوجوه مع وجوب الغض على الرجال ويشترط مع ذلك أمن الفتنة وترك الزينة فإن وجد أحد هذين منعت من الخروج إهـ. تفسير ايات الاحكام للصابوني الجز 2 ص : 114 اقول : الأئمة الذين قالوابان (الوجه والكفين ) ليسا بعورة اشترطوا بأنيكون عليها شيئ من الزنية وان لايكون هناك فتنة أما ما يضعه النساءفى زمننا من الاصباغ والمساحق على وجوههن واكفهن بقصدالتجميل ويظهرن به امام الرجال فىالطرقات فلاشك فى تحريمه عند جميع الائمة ثم ان قول بعضهم ان الوجه والكفين ليسا بعورة ليس معناه أنه يجب كشفها او أنه سنة وسترهما بدعة فان ذلك مالا يقول به مسلم وانمامعناه أنه لا خرج فى كشفهما عند الضرورة وبشرط أمن الفتنة

Minggu, 18 Maret 2012

Permintaan istri dikala ngidam dan hukum jual beli tokek

 
 
Permintaan Istri di Kala Ngidam

    Kehamilan merupakan momen penting yang sangat dinantikan oleh banyak orang tak terkecuali bagi Martono dan Martini, pasangan pengantin yang baru berumur beberapa bulan. Semenjak hadirnya sang calon buah hati, kebahagiaan mereka terasa lebih lengkap. Danseperti umumnya perempuan yang lagi hamil muda, Martinipun mengalami fenomena ngidam, tingkah dan permintaan Martini sudah di luar kebiasaan. Kalau yang diinginkan tersebut gampang didapat, dengan senang hati Martono memenuhi permintaannya. Namun, terkadang Martono dibikin kewalahan oleh tingkah Martini yang sangat menginginkan hal yang cenderung tidak masuk akal, belum waktunya musim duren Martini ngidam duren. Bahkan Martono merasa tertekan ketika Martini tidak mau didekati. Entah, apakah hal ini disebabkan adanya faktor situasi (psikis) yang menyertai Martini atau ini justru dijadikan kesempatan bagi Martini untuk melancarkan aksi mencari perhatian Martono.
     Pertanyaan
1. Apakah sikap Martini dapat dibenarkan menurut perspektif fiqih?
    
     Jawaban 
Untuk ngidam (meminta sesuatu)dibenarkan jika yang diminta merupakan hal yang biasa dibutuhkan oleh wanita yang ngidam.
Sedangkan sikap menolak didekati bisa dibenarkan jika adaudzur, seperti bau badan suami yang menyebabkan istri merasa tertekan dalam batas tidak mampu ditahan menurut kebiasaan umum.
Begitu juga dibenarkan bila menolak didekati tersebut murni timbul karena ngidam namun untuk faktor ini menggugurkan nafaqah.
Catatan :
Hukum di atas jika tidak ada tanda-tanda sang istri bohong.
Referensi
1. Hasyiyah al-Bujairamy ‘ala-al-Khothib, vol. 4, hlm. 89
2. At-Tahdzib, vol. 4, hlm. 454
3. Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 215
4. Mukhtar as-Sihah, hlm. 291
حاشية البجيرمي علىالخطيب الجزء الرابع صحـ:89
تنبيه : ينبغي أن يجب ما تطلبه المرأة عند ما يسمى بالوحم من نحو ما يسمى بالملوحة إذا اعتيد ذلك وأنه حيث وجبت الفاكهة والقهوة ونحو ما يطلب عند الوحم , يكون على وجه التمليك فلو فوته استقر لها ولها المطالبة به ولو اعتادت نحو الأفيون بحيث تخشى بتركه محذورا من تلف نفس ونحوه لم يلزم الزوج لأن هذا من باب التداوي ا هـ م ر سم .
التهذيب في فقه الإمام الشافعي الجزء الرابع صحـ: 454
فنشوز الزوجة كخروجها من البيت بغير إذنه لا إلى قاض يطلب الحق منه -إلى أن قال- وكمنعها له من الاستمتاعبها ولو بغير جماع كقبلة حيث لا عذر في إمتناعها منها فان عذرت كأن كان به صنان او بخر مستحكاموتأذت به تأذيا لا يحتمل عادة لم تعد ناشزة وتصدق في ذلك إن لم تدل قرينة على كذبها. وسئل العلامة ابن حجر عما إذا امتنعت الزوجة من تمكين الزوج لتشعثه وكثرة أوساخه هل تكون نازيزة ام لا ؟ فأجاب لا تكون ناشيزة بذالك ومثله كل ما تجبر المرأة على إزالته أخذا بما في” البيان” أن كل ما يتأذى به إنسان يجب على الزوج إزالته
بغية المسترشدين صحـ:215
(مسألة) مزوجة إذا دخلتعلى زوجها اعتراها ضيق وكرب وصياح وإذا خرجت من بيته سكن روعها لم يلزمها التسليم للضرر لكن تسقط مؤنها ولا يلزم الزوج الخروج من بيته لأخر.
مختار الصحاح ص291
وحم (الوحام) بفتح الواو وكسرها شهوة (الحبلى) خاصة وقد (وحمت) بالكسر توحم (وحما) بفتحتين وهي امرأة (وحمى) ونسوة (وحامى)وفي المثل وحمى و لا حبل وقد (وحمها توحيما)أطعمها ما تشتهيه.
1. Apakah permintaan istri ketika hamil harus dipenuhi?
Jawaban
Permintaan istri ketika hamil ( wahm ) Wajib dipenuhi jika hal itumerupakan hal yang biasa dibutuhkan oleh wanita yang sedang ngidam ( wahm ), namun menurut Sayyid Umar dan SyekhIbnu Siroj tidak wajib .
Referensi
1. Hasyiyah Syarwani, vol. 8,hlm. 309
2. Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 242
حاشية شرواني الجزء الثامن صحـ: 309
( تنبيه ) ينبغي أن يجب نحو القهوة إذا اعتيدت ونحو ما تطلبه المرأة عندما يسمى بالوحم مننحو ما يسمى بالملوحة إذا اعتيد ذلك وأنه حيث وجبت الفاكهة والقهوة ونحو ما يطلب عند الوحم يكون على وجه التمليك فلو فوته استقر لها ولها المطالبة به ولو اعتادت نحو اللبن والبرش بحيث يخشى بتركه محذورا من تلف نفس ونحوه لم يلزم الزوج لأن هذا من باب التداوي فليتأمل م ر اهـ سم على حج (أقول) الأقرب أن القهوة وما عطف عليها لا يجب لأنه من حيز التداوي وأي فرق بينه وبين البرش لأنكلا منهما يتضرر بتركه وليس له دخل في التغذيةبخلاف الفواكه ا هـ سيد عمر لكن أقر ع ش ما في التنبيه عن م ر بتمامه وزاد شيخنا والحلبي والحفني عليه وجوب الدخان المشهور إن اعتادته ا هـ
بغية المسترشدين صحـ:242
فائدة قال محمد بن سراج ولا تجب القهوة على الزوج مطلقاً وإن اعتادوها لكن نقل (ع ش)عن (م ر) وجوبها ونحوها من الفواكه المعتادة لأمثالها قال ويؤخذ منه وجوب ما يعتاد من الكعك في عيد الفطر واللحم في عيد الأضحى ولا يجب عمله عندها إلا إن اعتيد ذلك
HUKUM JUAL BELI TOKEK
Pertanyaan : 
Bagaimana hukum jual beli tokek? 
Jawaban :
Hukum jual beli tokek tidak diperbolehkan menurut madzhab Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah, sedangkan menurut madzhab Malikiyyah diperbolehkan dan sah.
Referensi :
الموسوعة الفقهية الكويتية الجزء الثاني والأربعون صحـ 316- 317
الْهَوَامُّ لُغَةً جَمْعُ هَامَّةٍ مِثْل دَابَّةٍ وَدَوَابَّ وَهِيَ تُطْلَقُ عَلَى كُل حَيَوَانٍ لَهُ سُمٌّ يَقْتُل كَالْحَيَّةِ قَالَهُ الأَزْهَرِيُّ وَفِي الْحَدِيثِ اجْتَنِبُوا هَوْمَ الأَرْضِ فَإِنَّهَا مَأْوَى الْهَوَامِّ وَقَدْ يُطْلَقُ عَلَى مَا لاَ يَقْتُل كَالْحَشَرَاتِ وَفِي الأَْثَرِ النَّبَوِيِّ أَيُؤْذِيكَ هَوَامُّ رَأْسِكَ ؟ يَعْنِي الْقَمْل وَالْمُرَادُ هُنَامَا يَشْمَل الْمُؤْذِيَ وَغَيْرَهُ مِمَّا لاَ يَنْتَفِعُ بِهِ وَالْمَعْنَى الاِصْطِلاَحِيُّ لاَيَخْرُجُ عَنِ الْمَعْنَى اللُّغَوِيِّ -إلى أن قال- بَيْعُ الْهَوَامِّ لاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي الْجُمْلَةِفِي أَنَّهُ لاَ يَنْعَقِدُ بَيْعُ هَوَامِّ الأَرْضِ الَّتِي لاَ مَنْفَعَةَ فِيهَا أَصْلاً وَاخْتَلَفُوا فِي بَعْضِ التَّفَاصِيل فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّهُ لاَ يَنْعَقِدُ بَيْعُ الْهَوَامِّ شَرْعًا كَالْوَزَغَةِ وَالسُّلَحْفَاةِ وَالْقُنْفُذِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ سَائِرِ هَوَامِّ الأَرْضِ الَّتِي لاَ مَنْفَعَةَ فِيهَا لِأَنَّهَا مُحَرَّمَةُ الاِنْتِفَاعِ بِهَا شَرْعًا لِكَوْنِهَا مِنَ الْخَبَائِثِ فَلَمْ تَكُنْ مَالاً فَلَمْ يَجُزْ بَيْعُهَا ؛ لِأَنَّ بَيْعَهَا يَكُونُ مِنْ جُمْلَةِ أَكْل أَمْوَال النَّاسِ بِالْبَاطِل وَاللهُ جَلَّ شَأْنُهُ يَقُولُ “لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِل” وَفِيهِ إِضَاعَةٌ لِلْمَال فَلَمْ يَجُزْ وَلِأَنَّهُ لاَ مَنْفَعَةَ فِيهَا أَصْلاً فَلَمْ يَنْعَقِدْ وَلاَ عِبْرَةَ بِمَا يُذْكَرُ مِنْ مَنَافِعِهَا فِي الْخَوَاصِّ وَأَمَّا الْمَالِكِيَّةُ فَالْهَوَامُّ عِنْدَهُمْ طَاهِرَةٌ وَيَجُوزُ عِنْدَهُمْ بَيْعُ الطَّاهِرِ إِذَا كَانَ مُنْتَفَعًا بِهِ

Kata-kata mutiara

Perasaan cinta itu dimulai dari mata, sedangkan rasa suka dimulai dari telinga. Jadi jika kamu mahu berhenti menyukai seseorang, cukup dengan menutup telinga. Tapi apabila kamu Coba menutup matamu dari orang yang kamu cintai, cinta itu berubah menjadi titisan air mata dan terus tinggal dihatimu dalam jarak waktu yang cukup lama. Jangan sesekali mengucapkan selamat tinggal jika kamu masih mau mencoba. Jangan sesekali menyerah jika kamu masih merasasanggup. Jangan sesekali mengatakan kamu tidak mencintainya lagi jika kamu masih tidak dapat melupakannya. Jika kita mencintai seseorang, kita akan sentiasa mendoakannyawalaupun dia tidak berada disisi kita. Cinta sejati adalah ketika dia mencintai orang lain, dan kamu masih mampu tersenyum, sambil berkata: aku turut bahagia untukmu. Ada 2 titis air mata mengalir di sebuah sungai. Satu titis air matatu menyapa air mata yg satu lagi,” Saya air mata seorang gadisyang mencintai seorang lelaki tetapi telah kehilangannya. Siapa kamu pula?”. Jawab titis air mata kedua tu,” Saya air mata seoranglelaki yang menyesal membiarkan seorang gadis yang mencintai saya berlalu begitu sahaja.”

Untukmu agamamu dan untukku agamaku

Untukmu Agamamu, dan Untukkulah, Agamaku
[Tafsir Surah Al-Kafirun]

Bagimu agamamu, bagiku agamaku .


Inilah di antara prinsip akidah Islam yang mesti dipegang dan dianut setiap muslim.


Namun sebagian orang masih tidak memahami ayat ini. Jika seorang muslim memahami ayat ini dengan benar, tentu ia akan menentang keras bentuk loyal pada orang kafir dan berlepas diri dari mereka.


Bentuk loyal pada orang kafir yang terlarang di antaranya dengan menghadiri perayaan mereka.


Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُ‌ونَ ﴿ ١ ﴾ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿ ٢ ﴾ وَلَاأَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿ ٣ ﴾ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿ ٤ ﴾ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿ ٥ ﴾ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿ ٦ ﴾
“ Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, (1) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. (2) Dan kamu bukan penyembah Rabb yang aku sembah. (3) Dan aku tidak pernahmenjadi penyembah apa yang kamu sembah, (4) dan kamu tidakpernah (pula) menjadi penyembahRabb yang aku sembah. (5) Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” . (6)” (QS. Al Kafirun: 1-6)

Makna Ayat

Ayat tersebut berisi seruan pada orang-orang musyrik secara terang-terangan bahwa kaum muslimin berlepas diri dari bentuk ibadah kepada selain Allah yang mereka lakukan secara lahir dan batin.

Surat tersebut berisi seruan bahwa orang musyrik tidak menyembah Allah dengan ikhlas dalam beribadah, yaitu mereka tidak beribadah murni hanya untuk Allah.


Ibadah yang dilakukan orang musyrik dengan disertai kesyirikan tidaklah disebut ibadah.


Kemudian ayat yang sama diulang kembali dalam surat tersebut. Yang pertama menunjukkan perbuatan yang dimaksud belum terwujud dan pernyataan kedua menceritakan sifat yang telah ada (lazim).


Lihat faedah tafsir surat Al Kafirun . Di akhir ayat Allah tutup dengan menyatakan,

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“ Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku ”.

Ayat ini semisal firman Allah Ta’ala ,

قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ
“ Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing. ” (QS. Al Isra’: 84)
أَنْتُمْ بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ
“ Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan .” (QS. Yunus: 41)
لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ
“ Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu. ” (QS. Al Qashshash: 55)

Ibnu Jarir Ath Thobari menjelaskan mengenai ‘ lakum diinukum wa liya diin ’,

“Bagi kalian agama kalian, jangan kalian tinggalkan selamanya karena itulah akhir hidup yang kalian pilih dan kalian sulit melepaskannya, begitu pula kalian akan mati dalam di atas agama tersebut.

Sedangkan untukku yang kuanut.

Aku pun tidak meninggalkan agamaku selamanya.

Karena sejak dahulu sudah diketahui bahwa aku tidak akan berpindah ke agama selain itu.” (Tafsir Ath Thobari, 24: 704)


Dalam Tafsir Al Bahr Al Muhith , Ibnu Hayyan menafsirkan, “Bagi kalian kesyirikan yang kalian anut, bagiku berpegang dengan ketauhidanku. Inilah yang dinamakan tidak loyal (berlepas diri dari orang kafir).”


Lakum diinukum wa liya diin juga bisa terdapat dua makna.


Pertama, bagi kalian akidah kekufuran yang kalian anut, bagi kami akidah Islam.


Kedua, karena diin bisa bermakna al jazaa’, yaitu hari pembalasan, maka artinya: bagi kalian balasan dan bagiku balasan.


Demikian dijelaskan oleh Al Mawardi dan Muhammad Sayid Thonthowi dalam kitab tafsir keduanya.

Prinsip Seorang Muslim
Inilah prinsip yang sudah jelas diajarkan dalam akidah Islam.

Agama ini mengajarkan tidak loyal atau berlepas diri dari orang kafir, dari peribadatan mereka, dari perayaan mereka dan dari berbagai hal yang menyangkut agama mereka.


Loyal di sini tidak boleh ada, meskipun dengan bapak, ibu, saudara, kerabat atau teman karib kita. Di antara bentuk loyal pada orang kafir:

Pertama : Tasyabbuh dengan orang kafir, yaitu menyerupai pakaian dan adat yang menjadi ciri khas mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“ Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka ” (HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [hal. 1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269)
Beda halnya jika hal tersebut sudah tersebar di tengah kaum muslimin dan tidak ada dalil yang melarang serta tidak ada sangkutpaut dengan agama, maka yang terakhir ini dibolehkan selama tidak lagi jadi ciri khas orang kafir.
Kedua : Turut serta dalam perayaan non muslim.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“ Dan orang-orang yang tidak menyaksikan perbuatan zur , dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya .” (QS. Al Furqon: 72)
Ibnul Jauziy dalam Zaadul Masiir mengatakan bahwa ada 8 pendapat mengenai makna kalimat “tidak menyaksikan perbuatan zur”, pendapat yang ada ini tidaklah saling bertentangan karena pendapat-pendapat tersebut hanya menyampaikan macam-macam perbuatan zur. Di antara pendapat yang ada mengatakan bahwa “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi’ bin Anas. Jadi, ayat di atas adalah pujian bagi orang yang tidak menghadiri perayaan orang non muslim. Ini berarti turut dalam perayaan tersebut adalah suatu perbuatan yang sangat tercela dan termasuk ‘ aib (Lihat Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim, 1/483). Oleh karena itu,tidak pantas bagi seorang muslim menghadiri perayaan natal, mengucapkan selamat natal pada orang nashrani, menghadiri perayaan natal bersama atau bahkan membantu mereka dalam melaksanakan perayaaan tersebut.
Dalam perayaan Natal, orang Nashrani mengingat-ingat akan kelahiran Yesus yang dinyatakan sebagai anak Allah. Padahal Allah sendiri menyatakan Dia tidak memiliki anak dan pernyataan seperti ini adalah suatu kekufuran. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا(88) لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا (89) تَكَادُ السَّمَوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا (90) أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا (91) وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا (92) إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آَتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا (93)
“ Dan mereka berkata: “Rabb Yang Maha Pemurah mempunyai anak”. (88) Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, (89) hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, (90) karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. (91) Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. (92) Tidak adaseorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selakuseorang hamba. (93) ” (QS. Maryam: 88-93). Secara tidak langsung turut dalam perayaan natal dan memberi ucapan selamat, berarti melegalkan Allah mempunyai anak.
Sungguh aneh jika seorang muslimmasih menghadiri acara natal, padahal sudah jelas mereka (Nashrani) merayakan kekufuran. Dengan alasan toleransi apakah kita ingin mengorbankan akidah Islam kita? Dengan alasan karena tidak enak dengan tetangga, atasan, teman kerja, apakah kitaberpaling dari ayat Allah? Apakah hanya karena alasan mereka telah memberi kita selamat Idul Fithri, kita jadi rela terjerumus dalam dosa?

Hukum begadang dipinggir jalan

Hukum begadang dipinggir jalan

 

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ فَقَالُوا مَا لَنَا بُدٌّ إِنَّمَا هِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا قَالَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَحَقَّهَا قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ
 

dari [Abu Sa'id AL Khudriy radliallahu 'anhuma] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian duduk duduk di pinggir jalan” . Mereka bertanya: “Itu kebiasaan kami yang sudah biasa kami lakukan karena itu menjadi majelis tempatkami bercengkrama”. Beliau bersabda: “Jika kalian tidak mau meninggalkan majelis seperti itu maka tunaikanlah hak jalan tersebut” . Mereka bertanya: “Apa hak jalan itu?” Beliau menjawab: “Menundukkan pandangan, menyingkirkan halangan, menjawab salam dan amar ma’ruf nahiy munkar” .
Point-point yang dibahas:
I. Menundukkan Pandangan
Kenapa kita harus menjaga pandangan?
*. Karena menjalankan perintah Allah dalam Al-Qur’an :
 

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ :: وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
 

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. :: Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, … (An Nuur : 30-31)
*. Karena mata adalah salah satu kenikmatan terbesar yang kelakakan dimintai pertanggung jawabannya. Sebagaimana firman Allah :
 

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyaipengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (Al Israa : 36)
*. Menahan pandangan merupakansebab yang dapat menghindarkan kita dari terjatuh kedalam zina.
Bagaimana jika kita secara tidak sengaja melihat kepada sesuatu yang diharamkan untuk melihatnya?
Jawabannya ada pada hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud tentang pesan Nabi -shallallohu ‘alaihi wa sallam- kepada Ali bin Abi Thalib -radhiyallohu ‘anhu- :
 

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَلِيٍّ يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعْ النَّظْرَةَالنَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Ali: “Wahai Ali, janganlah engkau ikutkan pandangan pertama dengan pandangan yang lain (berikutnya), sesungguhnya bagimu pandangan yang pertama tidak pandangan yang lainnya (berikutnya).”
II. Menyingkirkan Gangguan Dari Jalan
*. Menyingkirkan gangguan dari jalan termasuk dari cabang-cabang keimanan, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayatImam Muslim:
 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَاقَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
 

Dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Iman itu ada tujuh puluh lebih, atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah perkataan, LAA ILAAHA ILLALLAHU (Tidak ada tuhanyang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah sebagian dari iman.”
*. Amalan ini termasuk amalan yang paling baik; Dan termasuk amalan yang paling buruk adalahseseorang meludah didalam masjid lalu ia tidak mengubur ludahnya tersebut dengan pasir[karena dizaman Nabi -shallallohu'alaihi wa sallam- lantai masjid tidak seperti yang kita jumpai saat ini]
 

عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عُرِضَتْ عَلَيَّ أَعْمَالُ أُمَّتِي حَسَنُهَا وَسَيِّئُهَا فَوَجَدْتُ فِي مَحَاسِنِ أَعْمَالِهَا الْأَذَى يُمَاطُ عَنْ الطَّرِيقِ وَوَجَدْتُ فِي مَسَاوِي أَعْمَالِهَا النُّخَاعَةَ تَكُونُ فِي الْمَسْجِدِ لَا تُدْفَنُ
Dari Abu Dzarr dari Nabi Shallallahu’alaihiwasallam, “Dipaparkan kepadaku segala amal umatku, yang baik dan yangburuk. Maka aku mendapatkan di antara kebaikan amal umatku adalah membuang rintangan yangmengganggu di jalanan. Dan aku mendapatkan dalam amal jelek umatku adalah meludah di masjid tanpa dipendam’.” [HR. Muslim]
*. Amalan ini dapat menjadi sebab diampuninya dosa seorang hamba dan menjadi sebab dimasukkannya ia ke dalam surga. Disebutkan dalam Shahih Muslim :
 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ وَجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ عَلَى الطَّرِيقِ فَأَخَّرَهُ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ketika laki-laki sedang berjalan dan menemukan ranting berduri di tengah jalan, kemudian dia menyingkirkan ranting tersebut hingga Allah pun bersyukur kepadanya lalu mengampuni dosa-dosanya.”
 

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ رَجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ عَلَى ظَهْرِ طَرِيقٍ فَقَالَ وَاللَّهِ لَأُنَحِّيَنَّ هَذَا عَنْ الْمُسْلِمِينَ لَا يُؤْذِيهِمْ فَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ
 

Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Pada suatu ketika ada seseorang yang melewati sebatang ranting pohon yang menjuntai ke jalan. Kemudianorang tersebut berkata; ‘Demi Allah, saya akan menyingkirkan ranting pohon ini agar tidak mengganggu kaum muslimin yang lewat.’ Akhirnya orang tersebut dimasukkan ke dalam surga.’”
*. Orang yang mengganggu kaum muslimin dijalan-jalan mereka adalah termasuk yang diancam dalam firman Allah 

:وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
 

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (Al Ahzaab : 58)

Sidik jari dan TES DNA sebagai alat bukti


Deskripsi masalah:

   Baru-baru ini ramai diberitakan polisi salah tangkap, sekawanan pemuda dituduh membunuh seseorang dan membuang mayatnya di sebuah perkebunan. Pihak keluarga korban juga meyakini bahwa si mati adalah anggota keluarga mereka dengan mengenali ciri-ciri jasadnya. 

   Belakangan ada yang mengaku sebagai pembunuh orang tersebut dan mengaku mengubur jasadnya di pekarangan rumah. Berdasarkan uji DNA dapat diketahui siapa sebenarnya korban yang dibuang di perkebunan maupun yang dikubur di pekarangan rumah. Ironisnya vonis sudah dijatuhkan pada sekawanan pemuda tersebut, namun demikian mereka tidak juga segera dibebaskan dari tahanan meskipun tuduhan terhadap mereka salah alamat.
Pertanyaan:
a. Bagaimana kedudukan teknik identifikasi seperti sidik jari atau tes DNA dalam pandangan syari’at Islam? Bisakah dijadikan dasar proses hukum dengan mengabaikan keterangan saksi?
          Catatan : konon satu bukti forensik lebih kuat dari pada keterangan sepuluh orang saksi.
Jawaban:
Hasil identifikasi melalui tes DNA atau sidik jari dapat dipergunakan sebagai pertimbangan hukum sepanjang tidak bertentangan dengan keterangan saksi yang memenuhi syarat.
Dasar Pengambilan:
تبصرة الحكام ص 239 ج 1
وَقَالَ ابْنُ قَيِّمِ الْجَوْزِيَّةِ وَلَمْ تَأْتِ الْبَيِّنَةُ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ مُرَادًا بِهَا الشُّهُودُ . وَإِنَّمَا أَتَتْ مُرَادًا بِهَا الْحُجَّةُ وَالدَّلِيلُ وَالْبُرْهَانُ مُفْرَدَةً وَمَجْمُوعَةً . وَنَقَلَ ابْنُ الْفَرَسِ فِي أَحْكَامِ الْقُرْآنِ عَنْ الْقَاضِي إسْمَاعِيلَ : أَنَّ الْعَمَلَ بِالْحُكْمِ بِالْقَرَائِنِ فِي مِثْلِ اخْتِلَافِ الزَّوْجَيْنِ غَيْرُ مُخَالِفٍ لِقَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم : { الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي , وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ } ; لِأَنَّهُ صلى الله عليه وسلم لَمْ يُرِدْ بِهَذَا الْحَدِيثِ , إلَّا الْمَوْضِعَ الَّذِي تُمْكِنُ فِيهِ الْبَيِّنَةُ وَإِلَى هَذَا ذَهَبَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ . فَمَتَى وُجِدَتْ الْقَرَائِنُ الَّتِي تَقُومُ مَقَامَ الْبَيِّنَةِ عُمِلَ بِهَا . وَقَدْ وَرَدَ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ : قِصَّةُ يُوسُفَ فِي قَدِّ الْقَمِيصِ , وَإِقَامَةِ ذَلِكَ مَقَامَ الشُّهُودِ . قَالَ ابْنُ الْفَرَسِ : هَذِهِ الْآيَةُ يَحْتَجُّ بِهَا الْعُلَمَاءُ مَنْ يَرَى الْحُكْمَ بِالْأَمَارَاتِ وَالْعَلَامَاتِ فِيمَا لَا تَحْضُرُهُ الْبَيِّنَاتُ.
تفسير الألوسي ج 21 ص 232
قال ابن الفرس: من يرى الحكم من العلماء بالأمارات والعلامات فيما لا تحضره البينات كاللقطة. والسرقة . والوديعة. ومعاقد الحيطان. والسقوف وغير ذلك
قرة العين بفتاوى علماء الحرمين، صـ 317،
(ما قولكم) دام فضلكم فيمن اتهم بتهمة قتل او سرقة او ضرب ولم يثبت عليه شيئ من ذلك على المنهج الشرعي بل وجد قرائن وأحوال ظنية توجب الشبهة عليه فهل والحال ما ذكر للحاكم الشرعى تعزيره بما يراه من حبس او ضرب بالسوط زاجرا له ام لا أفتونا مأجورين حال كون ذلك معزيا الى مأخذه من كتب المذهب ولكم الثواب من الملك الوهاب (الجواب) نعم له ذلك اعتمادا على القرائن والأحوال الموجبة للتهمة ففى كتاب التبصرة للعلامة ابن فرحون فى فصل بيان عمل فقهاء الطوائف والاربعة بالحكم بالقرائن والامارات قال ابن العربي على الناظر أن يلحظ الأمارات اذا تعارضت فما ترجح منها قضى بجانب الترجيح وهو قوة التهمة ولا خلاف فى الحكم بها وقد جاء العمل بها فى مسائل اتفقت عليها الطوئف الاربعة وبعضها قال بها المالكية خاصة ثم اخذ يعدد شواهد ذلك من المسائل –الى ان قال- السابعة والعشرون اعتبار اللوث والاعتماد عليه فى الاقدام على القسامة والأخذ بالقود وقال والخامس والثلاثون وجوب اقامة الحد على المرأة اذا ظهر بها حمل ولم يكن لها زوج وكذلك الأمة اذا لم يكن لها زوج ولا سيد معترف أنه وطئها والسادسة والثلاثون وجوب الحد على من وجدت منه رائحة الخمر او قاءها.
بغية المسترشدين، صـ 276
(س) ليس للقاضى ان يقبل الشهادة او يحكم بمجرد خط من غير بينة مطلقا عن التفصيل بكون خطه او خط موثوق به ام لا احتياطا للحكم الذي فيه الزام الخصم مع احتمال التزوير هذا مذهب الشافعي الذي عليه جمهور اصحابه، ولنا وجه انه يجوز للحكم اذا رأى خطه بشيئ ان يعتمده اذا وثق بخطه ولم تداخله ريبة الى ان قال وقال فى الخادم وقد عمت البلوى بالحكم بصحة الخط من غير ذكر تفاصيله فإن كان عن تقليد المذهب الشافعي فممنوع اهـ
الفقه الإسلامى ج 7 ص 5802-5803
ولا يحكم عند الجمهور الفقهاء بالقرائن فى الحدود لأنها تدرأ بالشبهات ولا فى القصاص إلا فى القسامة للإحتياط فى موضع الدماء وإزهاق النفوس بالإعتماد على وجود القتيل فى محلة المتهمين عند من لا يشترط الوث (العداوة الظاهرة) أو بالإعتماد على مجرد اللوث عند من يشترطه، ويحكم بها فى نطاق المعاملة المالية والأحوال الشخضية عند عدم وجود بينة فى إثبات الحقوق الناشئة عنها ولكنها تقبل إثبات العكس بأدلة أخرى. وأخذ ابن فرحون وابن القيم الحنبلى بالقرائن أحيانا مع التحفظ والحذر ولو فى نطاق الحدود، وصار ذلك مذهب المالكية والحنابلة مثل إثبات الزنا بالحمل وإثبات شرب الخمر بطهور رائحتها من فم المتهم، ووجود السرقة بوجود المسروق فى حيازة المتهم.
القرينة كل أمارة ظاهرة تقارن شيأ خفيا فتدل عليه، ومنه يفهم أنه لابد فى القرينة من تحقق أمرين
· أن يوجد أمر ظاهر معروف يصلح أساسا للإعتماد عليه
· أن توجد صلة تربط بين الأمر الظاهر والأمر الخفى
b. Bolehkah menahan seseorang dengan alasan belum ada aturan untuk membebaskannya, meskipun proses peradilannya tidak benar? (PCNU Kab. Kediri)
Jawaban:
Apabila seseorang sudah terbukti tidak bersalah secara hukum, maka hukum yang telah terbukti menyalahi fakta harus dibatalkan dan terdakwa harus segera dibebaskan.
Dasar Pengambilan:
الأشباه والنظائر ص 105
خَاتِمَةٌ : يُنْقَضُ قَضَاءُ الْقَاضِي إذَا خَالَفَ نَصًّا , أَوْ إجْمَاعًا , أَوْ قِيَاسًا جَلِيًّا . قَالَ الْقَرَافِيُّ : أَوْ خَالَفَ الْقَوَاعِدَ الْكُلِّيَّةَ . قَالَ الْحَنَفِيَّةُ : أَوْ كَانَ حُكْمًا لَا دَلِيلَ عَلَيْهِ , نَقَلَهُ السُّبْكِيُّ فِي فَتَاوِيهِ . قَالَ : وَمَا خَالَفَ شَرْطَ الْوَاقِفِ فَهُوَ مُخَالِفٌ لِلنَّصِّ . وَهُوَ حُكْمٌ لَا دَلِيلَ عَلَيْهِ , سَوَاءٌ كَانَ نَصُّهُ فِي الْوَقْفِ نَصًّا , أَوْ ظَاهِرًا . قَالَ : وَمَا خَالَفَ الْمَذَاهِبَ الْأَرْبَعَةَ , فَهُوَ كَالْمُخَالِفِ لِلْإِجْمَاعِ قَالَ : وَإِنَّمَا يَنْقُضُ حُكْمَ الْحَاكِم لِتَبَيُّنِ خَطَئِهِ , وَالْخَطَأ قَدْ يَكُونُ فِي نَفْسِ الْحُكْمِ بِكَوْنِهِ خَالَفَ نَصًّا أَوْ شَيْئًا مِمَّا تَقَدَّمَ , وَقَدْ يَكُونُ الْخَطَأُ فِي السَّبَبِ كَأَنْ يَحْكُمَ بِبَيِّنَةٍ مُزَوَّرَةٍ ثُمَّ يَتَبَيَّنُ خِلَافَهُ , فَيَكُونُ الْخَطَأ فِي السَّبَبِ لَا فِي الْحُكْمِ , وَقَدْ يَكُونُ الْخَطَأُ فِي الطَّرِيقِ , كَمَا إذَا حَكَمَ بِبَيِّنَةٍ ثُمَّ بَانَ فِسْقُهَا . وَفِي هَذِهِ الثَّلَاثَةِ يُنْقَضُ الْحُكْمُ بِمَعْنَى أَنَّا تَبَيَّنَّا بُطْلَانَهُ , فَلَوْ لَمْ يَتَعَيَّنْ الْخَطَأُ , بَلْ حَصَلَ مُجَرَّدُ التَّعَارُضِ : كَقِيَامِ بَيِّنَةٍ بَعْد الْحُكْمِ بِخِلَافِ الْبَيِّنَةِ الَّتِي تَرَتَّبَ الْحُكْمُ عَلَيْهَا , فَلَا نَقْلَ فِي الْمَسْأَلَةِ . وَاَلَّذِي يَتَرَجَّح : أَنَّهُ لَا يُنْقَضُ , لِعَدَمِ تَبَيُّن الْخَ

Sabtu, 17 Maret 2012

Gadai bermasalah


Deskripsi masalah:

     Dunia bisnis menuntut pelakunya untuk memeras otak mencari terobosan baru, agar bisa survive ditengah ketatnya persaingan. Kondisi semacam ini menimbulkan implikasi negatif dengan banyak ditemukan model-model transaksi yang tidak jelas status dan legalitasnya dari syari'at. Salah satu kasus yang sudah menjamur di masyarakat adalah sebagai berikut.

     Pak Jefri bilang kepada masyarakat sekitar “barang siapa yang memberi saya uang 3 juta, maka dia berhak secara bebas memakai motor saya”, cuman BPKB-nya tidak diberikan dan motor bisa ditarik lagi oleh pak Jefri kapan saja dia menginginkan, dan tentu uang dikembalikan secara utuh mengingat motor ini hanya sebagai jaminan saja.

Pertanyaan:

 a. Bolehkah transaksi sebagaimana diatas?
b. Kalau tidak boleh bagaimana solusinya mengingat hal semacam ini sudah mewabah dimasyarakat.( LBMNU )

Jawaban:

Hukum transaksi di atas tergolong riba, kecuali apabila kesepakatan yang menguntungkan pihak penghutang dilakukan diluar akad, maka hukumnya diperinci sebagai berikut:
a) Boleh apabila tidak terdapat kebiasaan (adat) yang menguntungkan pihak yang menghutangi.
b) Khilaf, apabila terdapat kebiasaan yang menguntungkan pihak yang menghutangi. Menurut pendapat mayoritas ulama hukumnya boleh karena adat tidak diperlakukan sebagaimana syarat yang tertuang dalam akad. Sementara menurut imam Al-Qoffal, hukumnya haram karena adat diperlakukan sebagaimana syarat yang tertuang didalam akad.
Dasar Pengambilan:
إعانة الطالبين الجزء الثالث ص: 58
(قوله بشرط ما يضر الراهن أو المرتهن) أي بشرط شيء يضر الراهن أو المرتهن أي أو كليهما فأو مانعة خلو فتجوز الجمع وخرج بذلك ما لا يضرهما أو أحدهما كأن شرط فيه مقتضاه كتقدم مرتهن بالمرهون ثم تزاحم الغرماء أو شرط ما فيه مصلحة له كإشهاد به أو شرط ما لا غرض فيه كأن يأكل العبد المرهون كذا فإنه يصح عقد الرهن في الجميع ويلغو الشرط في الأخير (قوله كأن لا يباع) أي أصلا وهو تمثيل لما يضر المرتهن وقوله ثم المحل هو يضر المرتهن (قوله وكشرط منفعته إلخ) هذا مثال لما يضر الراهن ولذلك أعاد الكاف وإنما كان مضرا به لأن منافع المرهون كسكنى الدار وركوب الدابة مستحقة للراهن فإذا شرطت للمرتهن أضر بالراهن (قوله كأن يشرطا) الموافق لقوله بعد في الصور الثلاث أن يزيد واو العطف بأن يقول وكأن يشرطا إلخ وعبارة المنهج وشرحه كأن لا يباع ثم المحل وكشرط منفعته أي المرهون للمرتهن أو شرط أن تحدث زوائده كثمر الشجرة ونتاج الشاة مرهونة اهـ قوله مرهونة خبر أن أي شرطا أن الزوائد التي تحدث تكون مرهونة أيضا في الدين (قوله فيبطل الرهن في الصور الثلاث) هي قوله كأن لا يباع وقوله كشرط منفعته (وقوله كأن يشرطا إلخ) وإنما بطل فيها لإخلال الشرط في الأولى بالغرض من الرهن الذي هو البيع ثم المحل ولتغيير قضية العقد في الثانية وذلك لأن قضية العقد أن تكون منافع المرهون للراهن لأن التوثق إنما هو بالعين ولجهالة الزوائد وعدمها في الثالثة ومحل البطلان في الثانية ما لم تقدر المنفعة بمدة كسنة وكان الرهن مشروطا في بيع فإن كان كذلك فلا بطلان بل هو جمع بين بيع وإجارة وصورة ذلك أن يقول بعتك هذا العبد بمائة على أن ترهنني به دارك هذه ويكون سكناها إلى سنة فيقبل الآخر.
نهاية الزين ص 203:
ولا يجوز قرض نقد أو غيره إن اقترن بشرط جر نفع مقرض كردّ زيادة أورد جيد عن رديء لخبر فضالة بن عبـيد رضي اللـه عنه: «كل قرض جر منفعة فهو ربا» أي كل قرض شرط فيه ما يجر إلى المقرض منفعة فهو ربا، فإن فعل ذلك فسد العقد حيث وقع الشرط في صلب العقد، أما لو توافقا على ذلك ولم يقع شرط في العقد فلا فساد.
الأشباه والنظائر، 67
لو عم فى الناس اعتياد اباحة منافع الرهن للمرتهن فهل ينزل منزلة شرطه حتى يفسد الرهن قال الجمهور لا وقال الفقال نعم اهـ (فرع) إذا قال لغيره أقرضني ألف جنية
تكملة المجموع ج 13 ص 218
(فرع) إذا قال لغيره أقرضنى ألف جنيه على أن أعطيك سيارتى هذه رهنا وتكون منفعة لك فأقرضه فالقرض باطل لأنه قرض جر منفعة وهكذا لوكان عليه ألف بغير رهن فقال له أقرضنى ألفا على أن أعطيك سيارتى هذه رهنا بها، وبالألف التى لا رهن، فأقرضه فالقرض فاسد لأنه قرض جر نفعا، والقرض باطل فيهما لأن الرهن إنما يصح بالدين ولا دين له فى ذمته. وإن قال: أقرضنى ألفا على أن أرهنك دارى به وتكون منفعته رهنا بها أيضا لم يصح شرط رهن المنفعة لأنها مجهولة ولأنه لا يمكن إقباضها فإذا ثبت أنه لا يصح هذا الشرط فإنه زيادة فى حق المرتهن. وهل يبطل به الرهن فيه قولان

Rahasia alloh atas si kaya dan si miskin.

Rahasia Allah atas si Kaya dan si Miskin (Tafsir QS. Asy-Syura 19-28)

Perjalanan hidup adalah skenariotakdir, sulit diikuti, sukar pula untuk kita jelajahi episode episode berikutnya. Menapaki satu persatu tangga takdir tidaksemudah memainkan alat musik yang dapat dengan mudahkita intuisikan dengan setiap ritme kegemaran.
Sangat manusiawi dalam hidup menginginkan selalu berkecukupan, namun tentunya harus direnungkan, keinginan adalah ritme manusia bukan ritmepenciptanya. Lalu di mana letak rahasia itu tersimpan ?
Marilah kita rekam sekaligus kitarenungkan hikmah dan renunganas-Syuu ra sebagai paket spesial al-Qur’an dalam memahami makna dan artikulasi antara hamba berizqi dan berkekurangan.
Allah berfirman dalam ayat ke 19:
اللَّهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْقَوِيُّ الْعَزِيزُ (19)
“Allah Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya ; Dia memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dialah YangMaha Kuat lagi Maha Perkasa. (19)”
Dalam pandangan Ja’far bin Muhammad bin Aly bin Husain, Allah bersikap lembut terhadap makhluqnya dalam pemberian rizqidapat ditinjau dari dua arah. Pertama , Allah memilihkan rizqi untuk hamba hambanya darihal hal yang baik. Kedua , rizqi tidak diberikan dalam satu tempo sekaligus, akan tetapi dianugerahkan dengan jalan bertahap. Sehingga dengan itu makhluq tidak akan menyia nyiakan ( tabdzir) pada rizqi yangtelah diberikan.
Allah menganugerahkan rizqi kepada siapapun yang dikehendaki Nya. Terkadang melebihkan rizqi seseorang dari pada orang lain. Ini bukan berartibentuk ketidak adilan ataukedzaliman. Hikmah yang dapat dipetik dari ini adalah keseimbangan kehidupan yang berlangsung di muka bumi. Perbedaan dalam pendapatan rizki akan dapat menciptakan kondisi saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Yang merasa kaya akan membutuhkan tenaga seseorangdalam mengelola harta bendanya.Sebali knya, yang berkekuranganak an dapat menyumbangkan tenaganya demi hajat mereka atas harta si kaya.
Di sisi lain dapat pula kita fahami,bahwa kekayaan dan kefakiran adalah bentuk cobaan. Bagaimana si kaya bersikap kepada yang fakir dan apa sikapyang ditampakkan si fakir terhadap yang kaya. Kemudian akan dapat dilihat seberapa besar kesabaran mereka dalam menanggung cobaannya masing masing.
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَالدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ(20)
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kamitambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di duniaKami berikan kepadanya sebagiandari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun diakhirat. (20)”
Sebagaimana diungkapkan Al Qusyairi, ayat ini adalah sebuah peringatan bagi setiap manusia agar tidak terbujuk oleh kehidupan dunia seperti yang telah terjadi pada orang orang kafir.
Imam Qatadah menyampaikan pemahaman menarik mengenai ayat ini. Beliau mengatakan, padahakekatnya Allah akan tetap selalu memberikan apapun yang manusia inginkan dari kepentingan dunia selama orientasi hidupnya tetap dalam bingkai kepentingan akhirat. Dansebaliknya, manusia hanya akan mendapatkan jatah duniawi belaka tatkala orientasi hidupnyahanyalah untuk urusandunia. Allahtelah berjanji, selamaseorang hamba masih teguh memperjuangkan amal-amal akhirat, Dia akan selalu menambahkan pahala demi pahala, sekaligus menjamin porsi rizki yang tertulis untuknya. Sedangkan bagi mereka yang melalaikan akhirat, sibuk memakmurkan dunia, maka hanyapenantian siksa yang akan menjadi jatahnya kelak dania puntidak kuasa mendapatkanlebi h kecuali atas porsi rizki dunianya.
Tujuan final dari amal dan perilaku kita atas dunia adalah akhirat. Segala bentuk tindakan yang terarahkan pada tujuan ini,sekalipun bernafaskan duniawi,Allah menjajikan kelipatan pahalaperbuatan nya tanpa mengenyampingka n kepentingan dunianya. Namum manakala tujuanini telah berbalik arah, menempatkan dunia sebagai tempat tujuannya, maka siksa yang telah diancamkan Alloh akanmenanti. Sebagaimana ancaman Allah terhadap orang orang kafir Makkah yang telah menuruti tuntunan dan bisikan teman sekutunya (syaitan). Seperti yangtertuang dalam ayat berikut.
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (21) تَرَى الظَّالِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا كَسَبُوا وَهُوَ وَاقِعٌبِهِمْ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فِي رَوْضَاتِ الْجَنَّاتِ لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ عِنْدَ رَبِّهِمْ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ (22)
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembah an selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak adaketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulahmereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yangzalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih (21) Kamu lihat orang-orang yang zalim sangat ketakutan karena kejahatan-kejah atan yang telah mereka kerjakan, sedang siksaanmenimpa mereka. Dan orang-orang yang saleh (berada) di dalam taman-taman surga, mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Yang demikian itu adalahkarunia yang besar(22).”
Perjuangan menanamkan kasih sayang nampak disinggung bagi Nabi. Allah juga menyerukan kepada Nabi untuk meminta kaumQuraysh menghentikan segala permusuhan dan hidup dalam kebersamaan. Dan sebagaicontoh langsung bentuk amal yang berorientasikan akhirat murni, Alloh menyerukan kepada Rosululloh untuk tidak menuntut imbalan atas usahanya dalam menyampaikan risalah.
Allah telah menjanjikan “karunia yang besar”, dan bukan itu saja,dijanjikan pula pahala yang besarbagi mereka yang mau beramal kebaikan dengan kelipatan pahala di akhirat. Sedangkan bagi mereka yang tetap asyik dengan kekafirannya,telah diperingatkan akan adanya siksayang teramat pedih. Kecuali bagi mereka yang mau bertaubatdanmenghentikan segala bentuk pembangkangan terhadap Allah, penyesalan dan taubat mereka tidak akan pernah disia siakan Alloh. Hal ini bisa kita simak dalamayat selanjutnya :
ذَلِكَ الَّذِي يُبَشِّرُ اللَّهُ عِبَادَهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِقُلْ لَاأَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى وَمَنْ يَقْتَرِفْحَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ (23) أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًافَإِنْ يَشَأِ اللَّهُ يَخْتِمْ عَلَى قَلْبِكَ وَيَمْحُ اللَّهُ الْبَاطِلَ وَيُحِقُّالْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (24) وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ (25) وَيَسْتَجِيبُ الَّذِينَ ءَامَنُواوَعَمِ لُوا الصَّالِحَاتِ وَيَزِيدُهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَالْكَافِرُونَ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ (26)
“Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang berimandan mengerjakan amal saleh. Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atasseruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan”. Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri(23) Bahkan mereka mengatakan: “Dia (Muhammad) telah mengada-adakan dusta terhadap Allah”. Maka jika Allah menghendaki niscaya Dia mengunci mati hatimu; dan Allah menghapuskan yang batil dan membenarkan yang hak dengan kalimat-kalimat -Nya (Al Qur’an). Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati (24) Dan Dialah yang menerima taubatdari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesal ahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan (25) dan Diamemperkenank an (do`a) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal yang saleh danmenambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya. Dan orang-orang yang kafir bagi mereka azab yang sangat keras”(26).
Memantapkan nilai hikmah yang terkandung dalam beberapa ayatdi atas, Allah juga berfirman dalam ayat ke 27 :
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌبَصِيرٌ (27)
“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampauibatas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat”.
Dengan hikmah dari ayat ini, sekarang dapat kita rasakan betapa Allah adalah Sang Maha Pengatur yang tidak ada duanya.Ritme kehidupan terasa begitu indah kita jalani. Mungkin perasaan kita bertanya-tanya, dimana letak kekeliruan manusiadalam tindakan yang melampaui batas ketika mereka dianugerahinikm at harta yang sepadan ?.
Para mufassir telah menelaah halini dalam beberapa sudut pandang rasional.
Pertama, andai saja terjadi semua manusia memiliki kelapangan rizki sepadan, niscayatidak ada lagi istilah membutuhkan maupun dibutuhkan, yang artinya tidak akan ada interaksi. Interaksi adalah keseimbangan, sehingga musnahnya interaksi adalah terganggunya keseimbangan kehidupan dan kemaslahatan.
Kedua, spesifikasi ayat ini adalah untuk bangsa Arab, dimana ketika mereka semua diberikan nikmat rejeki yang sama, denganair hujan mereka sudah mendapatkan kesegaran, dari tumbuh-tumbuhan mereka sudahbisa menghilangkan rasa lapar dan dari segala apa yang ada semua menjadi surga, maka niscaya sehari-harinya mereka hanya akan menjadi penjahat danperompak yang menjarah kekayaan orang lain.
Ketiga, selain kedua hal di atas, manusia memiliki tabiat asli yang berupa kesombongan dalam dirinya. Sehingga ketika manusia merasakan nikmat kaya raya dengan harta yang melimpah ruah, niscaya mereka akan kembali pada tabiat aslinya, menjadi penyombong. Sedangkanketika berada pada posisi kesulitan, tertimpa bencanadan kesedihan mendalam dengan serta merta mereka akan bersikap tawadlu ‘ dan taat.
Ibn Abbas mengatakan, manusia dikatakan melampaui batas karena mereka akan selalu memburu kedudukan yang lain setelah memperoleh kedudukan yang ia raih, bersaing mendapatkan kendaraan, setelahkendaraan yang lain ia dapatkan dan berlomba busana setelah ia miliki busana mewah yang lain.
Sebuah maqalah mungkin akan menyadarkan kita; “Andai saja manusia diberikan sesuatu yang banyak niscaya ia meminta yang terbanyak dan andaikan dia telahkuasai dua tambang emas ia akanmelakukan apapun untukmendapatka n tambang yang ketiga”.
Kesempitan dalam rizki bukanlah suatu kehinaan, dan kelapangan dalam rizki bukanlah suatu keutamaan. Segala apa pun yangdiperbuat Alloh akan selalu dalambingkai “maslahat”, meskipun itu bukan suatu keharusan bagi Nya.Allah maha tahu atas apa yang terbaik dan yang dibutuhkan hambanya. Seorang mu’min dianugerahi kelapangan rizki, karena Allah tahu bahwa itu yang terbaik untuknya. Andai saja ia diberi kesulitan dalam hal rizki, mungkin justru ia akan berbuat kerusakan. Dan seorangmu’min dianugerahi kesempitan dalam rizki, karena Allah pun tahu bahwa itu yang terbaik untuknya.Andai saja ia diberi kelapangan rizki, mungkin justru ia akan berbuat kerusakan. Menyesatkandirinya sendiri dan melalaikan tugasnya sebagai hamba Allah.
Menurut sebagian tafsiran, ayat di atas terkait dengan pemahaman ayat ke 28, di mana Allah berfirman :
وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنْشُرُ رَحْمَتَهُ وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ (28)
“Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji “.
Maksudnya, seandainya Allah memberikan limpahan rizki berupahujan yang terus menerus mengguyur muka bumi, niscaya manusia tidak akan mengangkat kedua tangannya untuk memohonkepada Allah. Sehingga dapat kitalihat, adakalanya manusia menengadahkan kedua tangannya dengan bersimpuh dandi lain waktu mereka membuka kedua tangannya untuk bersyukur. Hingga kemudian Allah menegaskan dalam ayat ke 28 bahwa hujan maupun kekeringan di bumi adalah hikmah ketuhanan,dimana Allah menunjukkan kekuasaanNya setelah semua makhluk tidak mampu berbicara dan berputus asa untuk mendatangkan setetes air penyejuk bumi. Allah pun menyebarkan rahmat yang menurut sebagian tafsiran berupa berkah dan manfaat air hujan yang bisa kita saksikan dengan jelas di julangan gunung, jurang, tumbuh-tumbuhan dan makhluk bumi lainnya. Sungguh besar kekuasaan Allah, Tuhan semesta alam…!