“Semua orang pasti membutuhkan sahabat sejati, namun tidak semua orang berhasil mendapatkannya. Banyakpula orang yang telah menikmati indahnya persahabatan, namun ada juga yang begitu hancur karena dikhianati sahabatnya” “Sahabat yang beriman ibarat mentari yang menyinar. Sahabat yang setia bagai pewangi yang mengharumkan. Sahabat sejati menjadi pendorong impian. Sahabat berhati mulia membawa kita ke jalan Allah”
Minggu, 08 April 2012
Jumat, 06 April 2012
Adab dlm bergaul sesama manusia
ADAB
DALAM BERGAUL
- Apa itu adab?
- Mengapa kita harus memiliki adab?
Ø
Manusia adalah makhluk yang paling
sempurna karena akal budinya
Ø
Orang yang beriman adalah kelompok yang
paling baik akhlaknya
Ø
Mejadikan sesuatu lebih bernilai
- Pentingnya adab bergaul.
- Bagaimana al-Qur’an berbicara tentang adab dalam bergaul?
Ø
Saling mengenal (ta’aruf)
(QS.
Al-Hujurat: )
Ø
Saling memberi hormat (al-tahiyyah)
(QS.
Al-Nisa’: )
Ø
Saling menolong (ta’awun)
(QS.
Al-Maidah: )
Ø
Tidak saling mengolok-ngolok
(QS.
Al-Hujurat: )
Ø
Tidak saling mencela
(QS.
Al-Hujurat: )
Ø
Tidak saling memanggil dengan
panggilan buruk
(QS.
Al-Hujurat: )
Ø
Tidak berburuk sangka
(QS.
Al-Hujurat: )
Ø
Tidak berbuat ghibah
(QS.
al-Hujurat: )
- Bagaimana menyiasati pergaulan di masa kini?
- Penutup
Apa itu adab?
Dari segi asal kata (etimologi), istilah adab
merupakan kata serapan dari bahasa arab, adab (ادب) yang berarti sopan
santun, budi pekerti atau tata cara. (Hans Wern, 1996 : 9). Setelah menjadi
salah satu koso kata (perbendaraan kata) dalam bahasa Indonesia, kata adab dipakai
dengan beberapa pengertian yang tidak jauh dari bahasa aslinya, seperti kesopanan,
kehalusan, kebaikan, budi pekerti atau akhlak. (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dengan
demikian, yang dimaksud adab adalah segala bentuk sikap, prilaku atau tata cara
hidup yang mencerminkan nilai sopan santun, kehalusan, kebaikan, budi pekerti
atau akhlak.
Gambaran
orang yang beradab pada dasarnya adalah orang yang selalu menjalani hidupnya
dengan aturan atau tata cara. Tidak ada bagian dari aktivitas kehidupannya
terlepas dari tata cara (adab) yang diikutinya. Karena aktivitas hidup manusia
bermacam-macam dan masing-masing membutuhkan tata cara, maka muncul pula
berbagai macam adab. Secara garis besar berbagai macam adab itu dibedakan menjadi dua, yaitu adab yang
bersifat pribadi dan adab yang bersifat sosial. Adab yang bersifat pribadi
terkait dengan segala tata cara/ prilaku yang menyangkut diri kita sendiri,
semisal adab makan, adab memakai pakaian atau adab akan tidur. Sedangkan adab
yang bersifat sosial terkait dengan prilaku kita dengan orang lain, seperti
adab memberi sedekah, adab menjenguk orang sakit atau adab bergaul.
Mengapa
kita harus beragul?
Bergaul mengandung arti bercampur, yaitu
mengandaikan hubungan seseorang dengan orang lain. Bergaul adalah satu cara
seseorang untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Bergaul dengan orang lain
menjadi satu kubutuhan yang sangat mendasar, bahkan bisa dikatakan wajib bagi
setiap manusia yang ‘masih hidup’ di dunia ini. Al-Qur’an menjelaskan secara
gamblang alasan yang mengharuskan manusia harus bergaul dengan yang lainnya..
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ﴿١٣﴾
Artinya:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Sabab
Nuzul
Menurut
Abu Daud, ayat ini turun berkenaan dengan Abu Hind yang pekerjaan
sehari-harinya sebagai pembekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah agar
menikahkan salah satu putri mereka dengan Abu Hind, tetapi mereka enggan
melakukannya. Mereka beralasan, Abu Hind adalah bekas budak mereka. Sikap
keliru ini yang kemudiaan dikecam al-Qur’an dengan menegaskan bahwa kemuliaan
di sisi Allah bukan dari garis keturunan atau kebangsawanan, tetapi karena
ketakwaan.
Versi
lain menyebutkan, ayat ini turun ketika Usaid Ibn Abi al-Ish berkomentar
mendengar Bilal mengumandangkan azan di Ka’bah
dengan nada mengejek: Alhamdulillah, Ayahku wafat sebelum melihat
kejadiaan ini”. Ada
lagi yang berkomentar: “Apakah Muhammad tidak menemukan selaian burung gagak
ini untuk beradzan?”
Ayat di
atas menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia dengan perbedaan jenis kelamin,
suku dan bangsa. Perbedaan ini tidak harus menimbulkan perpecahan, melainkan
dorongan untuk saling mengenal. Al-Qur’an menggunakan kalimat li ta’rafu (لتعارفوا). Kata
kerja dari kalimat ini terambil dari kata ‘arafa (عرف)
yang berarti mengenal. Patron (pola) kata yang
dipakai ayat ini mengandung makna timbal balik, dengan demikian berarti saling
mengenal.
Perbedaan
bangsa, suku, bahasa, adat, dan kebiasaan
menjadi satu paket ketika Allah menciptakan manusia, sehingga manusia
dapat saling mengenal satu sama lainnya. Sekali lagi, tak ada yang dapat
membedakan kecuali ketakwaannya. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu kita
tumbuhkembangkan agar pergaulan kita dengan sesama muslim menjadi sesuatu yang
indah sehingga mewujudkan ukhuwah islamiyah. Tiga kunci untuk mewujudkannya
yaitu ta’aruf, tafahum, dan ta’awun. Inilah tiga kunci utama yang harus kita
lakukan dalam pergaulan.
Adapun istilah gaul atau bergaul mengandung arti bercampur, yaitu mengandaikan
hubungan seseorang dengan orang lain. Sehingga yang dimaksud dengan adab
bergaul adalah tata cara tingkah laku manusia dalam berhubungan atau
bersosialisasi dengan orang lain. Dan yang perlu diinggat, penerapan dua kata
itu dalam kehidupan kita sehari-hari haruslah saling terkait dan beriringan
satu sama lainnya. Bergaul tanpa adab ibarat kendaraan yang sedang melaju di
jalan raya, tetapi tidak memperdulikan rambu-rambu lalu lintas yang ada.
Gambaran
seseorang yang memiliki adab bergaul misalnya, dalam berbicara selalu
menggunakan tutur kata yang baik dan santun, menghindari ucapan yang dapat
melukai hati, dan menjauhi pembicaraan yang menimbulkan fitnah. Saat bertemu
dengan teman atau saudaranya, ia juga tidak enggan untuk menyapa dan
menyampaikan salam. Begitu pula ketika ada orang yang sangat membutuhkan, ia
tidak akan berat hati untuk membantu dan mengulurkan tangannya.
Dalam
tingkatan yang lebih luas, kita sering juga mendengar istilah ‘bangsa yang beradab’
atau ‘masyarakat yang beradab’, maka yang dimaksud adalah bangsa yang
masyarakatnya memiliki sikap, prilaku atau tata cara hidup yang mencerminkan nilai-nilai
sopan santun, kebaikan, kehalusan maupun budi pekerti. Dalam masyarakat seperti
ini akan terbangun sikap saling menghargai, menghormati dan tolong-menolong
antar sesama. Yang kaya bersedia membantu yang miskin, dan sebaliknya yang
miskin mampu menghargai yang kaya. Yang muda menaruh hormat kepada yang tua,
dan yang tua menyayangi yang muda. Kondisi semacam ini lah yang membuat sebuah
masyarakat atau bangsa menjadi aman, damai dan tentram.
Mengapa kita harus memiliki adab?
Al-Qur’an
adalah kitab pedoman hidup bagi umat manusia. Di dalamnya berisikan berbagai
aturan atau petunjuk. Salah satu diantaranya adalah petunjuk tentang adab (tata
cara) dalam bergaul dengan orang lain.
Manusia adalah makhluk yang
paling sempurna karena akal budinya
Sebagaimana
ditegaskan al-Qur’an, manusia diciptakan dalam sebaik-baik bentuk (ahsan
al-taqwim). Manusia dikarunia Allah memberikan kepada manusia karunia lebih
yang membedakannya dari makhluk lainnya. Manusia dibekali akal yang membuatnya
mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, sehingga dapat menerima
petunjuk kebenaran agama. Begitu pula dengan hati, manusia memiliki rasa kasih
sayang, empati dan simpati, sehingga mampu mengulurkan tangan kepada orang yang
membutuhkan, membantu saudaranya yang sedang dihimpit kesulitan, menghormati
dan menghargai jerih payah orang yang bekerja. Tanpa akal dan hati sudah bisa
dipastikan derajat manusia tidak ubahnya seperti binatang, makhluk yang tidak
memiliki kepekaan terhadap adab sopan santun. Al-Qur’an menggambarkan secara jelas
dan lugas sosok manusia yang tidak memfungsikan potensi kemanusiannya tidak ubahnya
seperti binatang, bahkan lebih buruk lagi. Dan manusia yang demikianlah yang
akan menjadi penghuni neraka bersama makhluk lain yang inkar kepada Allah SWT.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيراً مِّنَ الْجِنِّ
وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ
يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ
كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ ﴿١٧٩﴾
Artinya
:
Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
bagaikan binatang ternak, bahka lebih buruk lagi. Mereka itulah orang-orang
yang lalai. (QS. Al-‘Araaf: 179)
Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya
Di
antara manusia yang hidup di muka bumi dengan beraneka ragam latar belakang
suku bangsa, adat kebiasaan serta agama dan kepercayaannya, orang yang beriman
lah yang ditasbihkan sebagai orang yang paling baik akhlaknya. Seperti apa yang
telah diungkapan oleh Nabi SAW dalam salah sabdanya.
أَكْمَلُ
المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً
Orang mukmin yang paling
sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. (HR. Ahmad, al-Hakim
dll)
Pernyataan
Nabi ini tentu sangat beralasan. Orang mukmin adalah orang yang percaya dan
membenarkan sepenuh hati akan keberadaan dan kekuasaan Allah (tasdiq bi
al-qalb), mampu mengungkapkan lewat
ucapannya (al-taqrir bi al-lisan) dan membuktikannya dalam tindak
perbuatan (al-tathbiq bi al-arkan). Keyakinan yang penuh inilah yang membuat seorang mukmin tunduk
dan patuh atas semua perintah dan petunjuk-Nya.
Kepatuhan
orang mukmin kepada Allah SWT mengharuskannya untuk patuh kepada Nabi Muhammad
sebagai utusan-Nya.
Menjadikan
orang beriman terdepan dalam akhlak dan budi pekerti, tidak lepas dari figur
Nabi Muhammad sebagai teladan terbaik (uswah hasanah). Kehadirannya
sebagai utusan Allah di muka bumi adalah dengan membawa misi peradaban, yaitu
memperbaiki dan menyempurnakan adab moralitas manusia yang sedang mengalami
krisis dan dekadensi. Misi ini disampaikan langsung dalam sebuah hadisnya.
اِنَّماَ بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكاَرِمَ اْلأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku hanyalah diutus untuk
menyempurnakan kemuliaan akhlak.”
Misi kerasulanan
tersebut akan nampak jelas relevansinya bila kita menilik sejarah peradaban
Islam awal. Saat turunnya al-Qur’an bersamaan dengan misi kerasulan Nabi,
masyarakat Arab diidentifikasi sebagai masyarakat jahiliyah. Disebut jahiliyah
bukan berarti bahwa orang-orang Arab itu bodoh, akan tetapi yang dimaksud
kejahiliyahan masyarakat Arab adalah ketidaktahuan dan ketidakpedulian mereka
terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Bisa
dibayangkan, setiap ada bayi perempuan yang lahir, maka tidak segan-segan orang
Arab membunuh dan menguburnya hidup-hidup. Karena sudah menjadi tradisi saat
itu, kelahiran anak perempuan dianggap hanya akan membawa sial. Kahadirannya di
muka bumi bukan membuat hati gembira, melainkan menjadikan muka sang orang tua
geram padam. Keberadaannya tidak akan membawa berkah apa-apa, kecuali cercaan
dan hinaan dari orang-orang sekitar. Persepsi terhadap anak perempuan
sedemikian rendahnya di mata orang-orang Arab kala itu karena kaum hawa dianggap
tidak mampu berperan dalam medan pertempuran untuk membela kehormatan suku dan harga
diri keluarga. Al-Qur’an merekam dengan baik tindakan yang tidak beradab ini.
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأُنثَى ظَلَّ وَجْهُهُ
مُسْوَدّاً وَهُوَ كَظِيمٌ ﴿٥٨﴾
يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِن سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ
أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاء مَا
يَحْكُمُونَ ﴿٥٩﴾
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak
perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan
ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah
buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (QS. al-Nahl: 58-59)
Menjadikan sesuatu lebih bernilai
Tatkala
para sahabat menanyakan kepada Rasul tentang jalan apa yang harus ditempuh agar
manusia dapat mencapai kebahagiaan, dan mengapa kebahagiaan itu tak kunjung
datang meskipun di sana sini harta benda telah bertumpuk-tumpuk, bahkan setiap orang
yang berhak sudah mendapat bagiaannya yang layak dan pantas, maka Rasul pun menjawab,
“Kalian tidak akan dapat membahagiakan orang banyak dengan harta benda dan
kedudukan, melainkan dengan akhlak lah kalian akan dapat mendatangkan
kebahagiaan kepada mereka.”
Jawaban
Nabi di atas menggambarkan bahwa kedudukan tinggi dan kekayaan yang melimpah tidak
akan membawa fungsi sosial yang berarti bagi seseorang selama tidak diimbangi
dengan adab atau akhlak yang baik kepada sesama. Tidak heran kalau orang tua
dulu selalu berpesan,”Hidangkanlah makanan yang hanya rebusan dan cabe yang
bergiling saja, itu sudah akan menjadikan sedap dan lezat bila Engkau sajikan
dengan cara yang beradab, dibanding makanan dengan lauk pauk yang beraneka ragam
namun dihidangkan oleh orang yang tidak tahu adab.”
Gambaran
di atas menunjukkan bahwa nilai sesuatu tidak cukup dipandang dari sisi
kuantitas (banyak-sedikit) dan kualitasnya (baik-buruk), melainkan harus
dilihat pula dari bagaimana cara memperlakukannya. Orang yang berilmu tetapi
tak beradab tentu tidak bisa dianggap lebih baik dari pada orang yang tak berilmu
tetapi beradab.
Bagi
orang beriman, sebuah perbuatan yang dibalut dengan adab atau akhlak yang baik,
tidak hanya bernilai di mata orang lain selama di dunia, melainkan juga akan
akan bertambah nilainya dalam pandangan Allah kelak di akhirat. Janji Allah ini
terungkap dalam sebuah pernyataan hadis Nabi.
مَا مِنْ شَئٍْ اَثْقَلَ فِيْ مِيْزاَنِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ
الْقِياَمَةِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ (رواه الترميذي)
Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang
mukmin pada hari kiamat, melebihi akhlak yang luhur (HR. Al-Tirmidzi)
Penjelasan
di atas cukup memperlihatkan bagaimana pentingnya adab atau akhlak bagi umat
manusia, terlebih lagi bagi kaum beriman yang telah dijadikan Allah SWT sebagai
teladan bagi umat manusia yang lain. Adab atau akhlak yang dimiliki orang yang
beriman tidak hanya berdampak kepada lingkungan mereka sendiri, akan tetapi
juga berdampak pada citra agama Islam di mata umat lain. Sebagaimana yang
terjadi pada diri Nabi yang dinobatkan oleh seorang penulis orientalis sebagai
tokoh legendaris yang paling berpengaruh di muka bumi ini, melebihi tokoh-tokoh
dunia yang lain (termasuk Nabi atau Rasul yang lain) bukan hanya karena status
kenabiannya ataupun kerasulannya, melainkan karena ketinggian akhlak dan
kemuliaan budi pekertinya. Tidak hanya umat Islam sendiri yang meneladaninya,
akan tetapi umat lainpun banyak yang menaruh empati dan simpati hingga
menjadikannya sebagai teladan hidup sepanjang masa.
Rancangan
ADAB
DALAM BERGAUL
- Apa itu adab?
- Mengapa kita harus memiliki adab?
Ø
Manusia adalah makhluk yang paling
sempurna karena akal budinya
Ø
Orang yang beriman adalah kelompok yang
paling baik akhlaknya
Ø
Mejadikan sesuatu lebih bernilai
- Al-Qur’an adalah cermin adab orang mukmin
- Bagaimana al-Qur’an berbicara tentang adab dalam bergaul?
Ø
Saling mengenal (ta’aruf)
(QS.
Al-Hujurat: )
Ø
Saling memberi hormat (al-tahiyyah)
(QS.
Al-Nisa’: )
Ø
Saling menolong (ta’awun)
(QS.
Al-Maidah: )
Ø
Tidak saling mengolok-ngolok
(QS.
Al-Hujurat: )
Ø
Tidak saling mencela
(QS.
Al-Hujurat: )
Ø
Tidak saling memanggil dengan
panggilan buruk
(QS.
Al-Hujurat: )
Ø
Tidak berburuk sangka
(QS.
Al-Hujurat: )
Ø
Tidak berbuat ghibah
(QS.
al-Hujurat: )
- Bagaimana menyiasati pergaulan di masa kini?
- Penutup
“(Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup) karena takut
tercela mempunyai anak perempuan dan takut jatuh miskin (ditanya) untuk
menjelek-jelekkan pelakunya.” (QS. Al-Takwir: 8).
telah banyak mengajarkan banyak hal
tentang kehidupan manusia. Jatuh bangunnya sebuah peradapan selalu terkait
dengan kisah kehidupan manusianya. Cerita sejarah kejayaan Islam cukuplah
menjadi contoh yang nyata. Di masa keemasan, kekuasaan umat Islam hampir
meliputi seluruh bagian belahan dunia.
Bagaimana
al-Qur’an berbicara tentang adab bergaul?
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا لاَ يَسْخَرْ قَومٌ مِّنْ
قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوْا خَيْراً مِِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ
عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْراً مِِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا
تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن
لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴿١١﴾
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman
janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka
(yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula
wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi
wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang
mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu
panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan
ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat,
maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Al-Quran
turun dengan membawa sebuah misi. Kehadirannya adalah sebagai petunjuk (huda)
bagi segenap manusia untuk menyelamatkan kehidupan mereka dari kesesatan dan
kehancuran. Seperti dilukiskan oleh para sejahrawan, turunnya al-Qur’an pada
saat bangsa Arab berada dalam kondisi yang teramat memprihatinkan.
Manusia
terlahir dalam sebuah kebersamaan. Kelahiran seorang bayi karena jalinan
kebersamaan antara suami istri.
Sudah
menjadi kebutuhan dasar manusia keinginan untuk hidup bersama. Karena kebutuhan
ini pula, manusia dituntut untuk saling mengenal. Bagaimana mungkin orang bisa
hidup bersama kalau tidak saling mengenal. Pepatah populer, tidak kenal maka
tidak sayang, cukup membuktikan kenyataan ini.
Tak ada
seorang pun yang akan bisa hidup sendiri. Karena itulah, sering kali manusia
disebut sebagai makhluk sosial, mengingat tidak bisa Mulai dari lingkup yang
paling kecil, kebutuhan untuk hidup bersama sangat terasa.
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya”.
الَدِّّيْنُ اَلْمُعاَمَلَةُ
Agama
dalah interaksi yang baik.
مَا مِنْ شَئٍْ اَثْقَلَ فِيْ مِيْزاَنِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ
الْقِياَمَةِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ (رواه الترميذي)
Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin
pada hari kiamat, melebihi akhlak yang luhur (HR. Al-Tirmidzi
أَكْمَلُ
المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً
“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya, adalah orang yang paling
baik akhlaknya.” (HR. Ahmad, Al Hakim dll)
Langganan:
Postingan (Atom)