Sabtu, 17 Maret 2012

Mengambil giliran arisan


Pada saat ini banyak kegiatan arisan uang atau barang. Dalam perkembangannya terjadi suatau cara sebagai berikut :
A, B, dan C berarisan, A mendapat giliran menerima arisan tetapi ridlo haknya diterima oleh B yang juga anggota arisan, namun belum menerima arisan/giliran. Penyerahan hak secara suka rela dibarengi ganti rugi semacam jual beli hak, umpamanya :

Arisan sepeda motor memberi ganti rugi sebanyak Rp.15.000,- atau Rp. 25.000,-
Arisan uang sebesar Rp. 100.000,- memberi ganti rugi sebanyak Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 15.000,- sedangkan B masih punya hak giliran di lain waktu.

Pertanyaan:

Bernama aqad apakah pergantian semacam ini?

Jawab:

Ala sabili al ihtiyath (menurut pendapat yang berhati-hati) aqad semacam itu termasuk aqad Qardlu jarro Naf’an (hutang dengan menarik keuntungan) yang hukumnya tidak boleh (haram) kecuali jika tidak ada janji dalam aqad (Fi al-sulbi al-aqdi) maka boleh dengan nama Bai’ al-Istihqoq.

Dasar pengambilan:

1. Bughyah al-Mustarsyidin, Hlm. 135
إِذِ اْلقَرْضُ الفَاسِدُ المُحَرَّمُ هُوَ اْلقَرْضُ الْمَشْرُوْطُ فِيْهِ النَّفْعُ لِلْمُقْرِضِ، هَذَا اِنْ وَقَعَ فِي صُلْبِ الْعَقْدِ، فَاِنْ تَوَاطَأَ عَلَيْهِ قَبْلَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ فِي صُلْبِهِ أَوْ لَمْ يَكُنْ عَقْدٌ جَازَ مَعَ الْكَرَاهَةِ كَسَائِرِ حِيَلِ الرِّبَا الْوَاقِعَةِ لِغَيْرِ غَرَضٍ شَرْعِيٍّ.
Aqad utang piutang yang fasid (rusak) dan haram ialah menghutangi dengan janji pihak yang menghutangi mendapat keuntungan hal ini (haram) bila syarat tersebut masuk (ikut) dalam isi transaksi, jika syarat mendapat keuntungan itu berketepatan pada waktu sebelum terjadi transaksi dan waktu transaksi tidak menyebut-nyebut janji keuntungan bagi yang menghutangi, atau sama sekali tidak ada transaksi, maka hukumnya boleh disertai makruh seperti makruhnya segala rekayasa riba yang terjadi bagi selain tujuan syara’.
2. I’anah al-Thalibin, juz III, Hlm. 20
(وَمِنْهُ رِبَا الْقَرْضِ) أَيْ وَمِنْ رِبَا الْفَضْلِ: رِبَا اْلقَرْضِ، وَهُوَ كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا لِلْمُقْرِضِ غَيْرَ نَحْوِ رَهْنٍ. لَكِنْ لَا يَحْرُمُ عِنْدَنَا إِلَّا إِذَا شُرِطَ فِي عَقدِهِ
(Diantaranya ialah riba qordi) termasuk bagian dari riba fadli ialah riba qordli, yaitu setiap menghutangi yang mengambil untung/manfaat bagi yang menghutangi, selain aqad gadai dan sesamanya haram, hal itu tidak haram menurut kita, kecuali jika keuntungan itu diucapkan/diisyaratkan pada waktu transaksi (maka hukumnya haram).
3. Al-Bajuri, juz I Hlm. 357
لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ عَقْدٌ كَمَا لَوْ بَاعَ مُعَاطَاةً وَهُوَ الْوَاقِعُ فِي أَيَّامِنَا لَمْ يَكُنْ رِبًا وَإِنْ كَانَ حَرَامًا لَكِنْ أَقَلَّ مِنْ حُرْمَةِ الرِّبَا. اهـ
Jika di sana (dalam syarat) tidak terjadi aqad (transaksi) seperti pada waktu jual beli dengan mu’athoh (memberikan tanpa bicara), seperti yang terjadi saat ini, itu bukan riba, jika terjadi keharaman maka lebih sedikit dari pada keharaman riba.
4. Fatawi al-Kubro li Ibni Hajar, juz III, Hlm. 23
وَالَّذِي صَرَّحَ بِهِ الْأَصْحَابُ أَنَّ كُلَّ مَا أَبْطَلَ شَرْطُهُ الْعَقْدَ لَا يَضُرُّ إِضْمَارُ نِيَّةٍ فِيْهِ، وَذَكَرَ صَاحِبُ الْكَافِى أَنَّهُ مَعَ ذَلِكَ الْإِضْمَارِ هَلْ يَحِلُّ بَاطِنًا ؟ وَجْهَانِ قَالَ : وَأَصَحُّهُمَا عِنْدِيْ يَحِلُّ لِحَدِيْثِ عَامِلِ خَيْبَرَ.
Sesuatu yang telah dijelaskan oleh santrinya imam Syafi’i: Apabila suatu syarat yang dapat membatalkan aqad (transaksi) itu tidak masalah, jika hanya tersimpan dalam hati (tidak masuk aqad) shohibu al-kafi menjelaskan jika hal itu terjadi (menyembunyikan syarat dalam hati) apakah transaksinya secara batin dianggap halal? Ada dua pendapat, menurutku yang paling shohih adalah halal dengan dasar hadits tentang pengelola tanah (Nabi) di Khoibar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar